Jumat, 02 Mei 2025

Nyanyian Rindu yang Tersesat

5/02/2025 01:47:00 PM 0 Comments


Di bawah langit yang menyulam mendung,

angin malam membawa nyawa ingatan,

seperti dawai gitar yang patah nada,

kau adalah irama yang terus berdenging di lubuk hati,

meski bisu waktu telah menelan kisah kita.


Aku adalah perahu kecil di samudra tanpa tepi,

mencari pelabuhan yang telah runtuh,

kau, mercusuar yang dulu memandu,

kini hanya bayangan pendar di kejauhan,

tenggelam dalam kabut waktu yang tak terurai.


Rindu ini seperti bunga yang tumbuh di gurun,

akar menggali pasir, haus tanpa akhir.

Kata-kata yang tak terucap menyusun puisi bisu,

melukis dirimu di kanvas kenangan

yang warnanya memudar, namun tak pernah hilang.


Bulan menyusup ke jendela malam,

membisikkan rahasia yang hanya kita tahu.

Tidakkah kau mendengar?

Nyanyiannya memanggil namamu,

meski hanya gaung sunyi yang menjawab.


Kau, hujan pertama di musim kering,

aku menadahmu dengan jemari yang retak,

namun genggaman itu selalu gagal.

Kau mengalir,

meninggalkan jejak di tanah hatiku yang retak.


Jika waktu adalah serupa kunci,

biarlah ia membuka pintu yang tak pernah kututup.

Namun aku tahu,

kau adalah matahari senja,

yang indah dalam jarak,

dan fana jika disentuh.

Rabu, 30 April 2025

Sebatas Rindu

4/30/2025 01:52:00 PM 0 Comments

 


Aku sedang berusaha...

Berusaha berhenti mencintaimu secara diam-diam. Berusaha sebaik mungkin untuk menjauh.

Berusaha membiasakan diri hidup tanpa kamu di dalamnya. Berusaha tak lagi menoleh ke belakang, tak lagi mencari bayangmu di antara keramaian yang asing.

Mencoba menutup hati rapat-rapat, agar namamu tak lagi menyelinap masuk.  

Membiasakan diri dengan hari-hari yang sunyi tanpamu, walau kadang aku mendengar suara yang tak lagi ada: suaramu.

Tiap malam, aku meninabobokan rinduku sendiri.

Meyakinkan hatiku bahwa aku baik-baik saja. Berpura-pura lupa pada hal-hal kecil yang dulu menghangatkan hari-hariku.  

Berusaha tegar, seolah kau tak pernah menjadi alasan dari setiap senyum dan luka yang kutanggung diam-diam.

Membujuk diri sendiri bahwa aku mampu, meski langkahku kadang gemetar, dan dadaku seringkali terasa sesak oleh kenangan. 

Tapi, hari ini...  

Entah bagaimana, dadaku terasa seperti diketuk—pelan tapi membuatku limbung.  

Seolah hatiku memanggilmu lagi, dengan suara yang nyaris tak sanggup kuabaikan.

Tiba-tiba aku ingin tahu kabarmu.  

Tiba-tiba aku ingin kamu tahu bahwa ada seseorang di sini, yang masih menyimpan namamu dalam doa paling sepi.  

Tiba-tiba aku kehilangan semua kekuatan yang sudah susah payah kupupuk.

Rindu itu datang tiba-tiba.

Tanpa permisi, tanpa alasan logis yang bisa kupegang.

Dan aku, seperti bodoh yang lama tak belajar, kembali membuka pintu rindu yang selama ini kuusahakan untuk tertutup rapat.

Aku tak tahu harus bagaimana...

Selain mengirimkan satu pesan singkat padamu.

Bukan untuk memintamu kembali. Bukan untuk memohon apa-apa.

Aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku rindu.

Sebatas itu.

Karena selebihnya, aku tahu tempatku bukan lagi di sampingmu.

Karena aku tahu...  

Terlalu mencintaimu hanya akan melukaiku lagi.  

Dan menyampaikan rinduku padamu pun, tak akan mengubah apa-apa.

Selasa, 29 April 2025

Tersesat Dalam Bayangmu

4/29/2025 05:16:00 PM 0 Comments

"Dari jutaan manusia yang diciptakan, mengapa harus kamu ?"

Sebuah pertanyaan yang seolah menantang takdir, tapi tetap saja jawabannya terpendam dalam hati yang tak bisa aku ungkapkan, dada ini terasa sesak, jantung ini berdegup tak terkendali, dan seluruh tubuh ini seakan berada dalam cengkraman takdir  yang tak bisa aku hindari.


Tak pernah aku bayangkan, tak pernah aku rencanakan untuk jatuh hati padamu. Tapi sekarang, aku tersadar, bahkan bayangmu yang tampak samar bisa mengubah seluruh dunia di sekitar. 

Aku yang dikenal sebagai sosok yang tangguh, kini terjatuh, bersimpuh dalam kebodohan yang tak aku inginkan.

Tak ada yang lebih menakutkan selain kenyataan bahwa aku tak lagi memegang kendali atas diriku sendiri.

Bayangmu, entah bagaimana caranya, telah mencuri pusat kendali ku. Aku merasa gila, terperangkap dalam labirin perasaan yang tak tau arah.  Tapi anehnya ada bagian dari diriku yang merasa bangga. Bangga karena aku tak pernah merasa sebebas ini sebelumnya. Sebuah kebodohan yang menyenangkan, sebuah kegilaan yang memberi ruang dalam kekosongan hatiku.

Tanpa khayalan itu, aku merasa akan kehilangan pijakan. Karena pada akhirnya hanya dalam dunia khayal ku kamu ada, dan hadir mu di sana bisa membuatku menemukan sedikit kedamaian, dan sedikit alasan untuk bertahan.

Dan jika khayalan itu yang harus aku bangun, maka biarlah aku terjebak di dalamnya. Biarkan aku terjebak dalam bayang-bayangmu. Karena dalam bayang-bayangmu, aku menemukan secercah harapan yang sulit ku jelaskan. Karena dalam bayang-bayangmu, kakiku masih kokoh berdiri tegap menghadapi dunia. Maka, biarkan aku di sini, tersesat dalam bayangmu.

Minggu, 20 April 2025

Pernah Ada

4/20/2025 10:02:00 AM 0 Comments


Aku pernah begitu kagum pada sosokmu yang tampak begitu tangguh menghadapi lika-liku kehidupan yang, katamu, sering kali menyakitkan.  

Aku pernah begitu candu mendengar setiap cerita tentangmu—tentang sakit, lelah, air mata, juga bahagiamu. Dan aku bahagia bisa menjadi saksi atas setiap perjalanan juga pencapaianmu itu. 

Aku pernah mencintaimu dengan luar biasa.  

Mengabaikan logika yang berteriak, memintaku berhenti melangkah lebih jauh. Tapi aku tetap memilih masuk ke taman cinta yang sebenarnya banyak bunga berduri yang menyakitiku. 

Aku pernah begitu bahagia ketika hanya aku yang kau cari—meski sekadar menjadi tempat membuang keluh kesah dan protesmu pada hidup yang kau jalani.  

Aku pernah... sebahagia dan sejatuh cinta itu padamu.  

Pernah? 

Entahlah.. Mungkin sampai detik ku goreskan barisan kata ini, semua rasa itu msih utuh. 


Namun mungkin, bahagia dan cintaku hanyalah angin lalu bagimu.  

Mungkin, getaran cinta yang kurasa tak pernah benar-benar sampai ke dadamu.  

Mungkin, semua yang kuperjuangkan, tak pernah menjadi sesuatu yang berharga untukmu.

Jadi, jika suatu hari aku pergi diam-diam dan menghilang, rasanya itu bukanlah hal yang sulit bagimu, bukan?

Karena, sejak awal, aku hanyalah pelengkap.  

Yang dibutuhkan hanya sekali waktu.  

Yang tak pernah masuk dalam daftar prioritasmu.  

Yang tak akan pernah bisa memenangkan hatimu.

Maka jika aku benar-benar pergi dan ketika kamu menyadarinya, jangan pernah tanya aku ke mana.  

Jangan pernah tanya kenapa aku tak lagi ada.  

Karena aku pernah ada.  

Namun kamu... tak pernah benar-benar melihatku. Tak pernah benar-benar menyadari bahwa kamu adalah alasan mengapa bahagiaku terasa begitu sempurna. 

Jumat, 11 April 2025

Titik Kesia-siaan

4/11/2025 04:02:00 PM 0 Comments



Aku pernah mengatakan padamu, bahwa aku tak akan pernah berhenti mencintaimu. Bagaimanapun keadaannya. Aku jua pernah meyakinkan diriku sendiri bahwa kamu, akan menjadi orang terakhir yang aku cinta.

Tapi, entah kenapa, perlahan aku merasa cintaku berhenti. Tak ada lagi secercah harapan yang bisa kugenggam. Tidak ada lagi gemuruh semangat untuk mempertahankanmu tetap ada dalam perjalanan ku.

Jika hari ini cintaku berhenti, lalu perlahan aku melangkah menjauh, bukan karena aku membencimu, membenci keadaan, apalagi membenci takdir Tuhan. Bukan.

Ini hanya karena aku mulai sadar, bahwa aku sedang berdiri pada titik kesia-siaan. Tak ada harapan indah untuk kita merajut kisah bersama. Tak ada tanda-tanda bahwa takdir Tuhan berpihak untuk menyatukan kita. Maka, jika aku terus berdiri di sini, aku hanya sedang terus melukai diriku sendiri.

Aku memang pernah berkata, bahagiaku adalah melihat bahagiamu. Meski bahagiaku tak pernah benar-benar sempurna. Karena harus menyaksikan senyummu yang begitu tulus dan jujur … tapi untuk orang lain.

Tapi semakin hari, entah kenapa rasanya aku semakin lelah. Lelah menyaksikan bahagiamu yang tidak berasal dari aku.

Terlalu naif jika aku terus menerus mengatakan baik-baik saja dengan berada di tempatku saat ini, tempat dimana aku harus melepasmu, tapi aku tak sanggup membiarkanmu hilang. Tempat dimana aku ikut tersenyum melihatmu bahagia, tapi diam-diam hatiku meringis kesakitan. Tempat dimana aku hanya menjadi bayangan … pengisi kekosonganmu saja.

Mungkin mulai saat ini, aku memilih keluar dari titik kesia-siaan yang selama ini ku pijak. Mengayunkan langkah ku menuju ruang yang memberiku tenang dan bahagia yang jauh dari kata pura-pura.

Meskipun aku tak benar-benar ingin kehilanganmu dari pandangan, tapi setidaknya, kali ini, pijakanku bukan lagi tentang menunggu suatu hal yang sia-sia.

Setidaknya kali ini, aku akan belajar memulai menciptakan kebahagiaanku sendiri. Bahagia yang sempurna, tanpa bayanganmu. Tanpa keinginan untuk selalu bersanding denganmu.

Sabtu, 05 April 2025

Kau, Aku, dan Luka yang Tak Terlihat

4/05/2025 03:39:00 PM 0 Comments

 


Sejak awal, Ketika kau hadir memberikan nada baru dalam detak kehidupanku yang bertalu, aku sudah tau dimana seharusnya aku berdiri. Aku sudah membatasi siapa aku untukmu, pun sebaliknya. 

Berulang kali, aku membangun benteng agar langkahku tak  semakin jauh. Karena ku tau, semakin jauh dan dalam aku melangkah, semakin dekat aku dengan luka yang tak bisa diraba. 

Tapi nyatanya, benteng yang kubangun berulang kali ku hancurkan sendiri. Ku biarkan langkahku terayun mengikuti alur waktu. Semakin hari semakin jauh. Semakin hari, semakin dalam aku dibawa ke dalam labirin rasa yang menciptakan sayatan luka di setiap sisinya. Aku sakit, anehnya aku enggan pergi. Menjauh selangkah pun aku tak mampu. Membayangkan, kembali menjalani hari-hari tanpamu, hatiku remuk! 

Namun  jika bertahan pun, aku terluka. Anehnya, aku menikmati luka ini. Gila memang! 

Semenjak ku sadar belum terlalu jauh melangkah bersamamu, aku tau, kita adalah sebuah kesalahan yang enggan menjadi benar. Kita adalah sebuah kesakitan yang selalu saling menikmati perihnya sayatan luka yang tak dapat tersentuh. 

Entah, sudah berapa banyak bulir air mata menjadi kawan dalam pertempuran isi kepala dan hati kecilku, menjadi saksi perdebatan antara melepas atau bertahan di antara lereng-lereng kesunyian malam. 

Aku tau, aku sedang berdiri pada titik kesalahan. Tak semestinya aku ada. Tak semestinya aku biarkan langkahku sejauh dan sedalam ini untuk mengenal, atau  mungkin jatuh cinta padamu. Ya. Aku salah! Hingga ada di titik ini adalah salahku! 

Ingin ku pergi, membawa serta kesakitan yang harus ku sembuhkan sendiri, membawa bayang kerinduan yang kapanpun akan hadir memeluk jiwa. Tapi, langkahku tertahan. Oleh dua ego yang ingin kita selalu ada.

Aku harus apa sekarang? 

Bertahan di sisimu hanya memperpanjang durasi kesakitan yang bahkan tak menemukan obatnya. Melepas dan meninggalkan mu pun hanya akan mencipta kerinduan dan kehampaan yang abadi.

Diantara kebingunganku saat ini, satu hal yang paling ku tau adalah, aku ingin kamu bahagia. Bahagiamu adalah hal paling utama bagiku. Aku tak lagi peduli tentang rasa yang hadir dalam hatimu, atau yang tercipta dalam hatiku. Yang aku mau, dan cukup bagiku saat ini, kamu bahagia. Meski aku hanya akan menjadi bayangan dalam hari-hari yang terlewati.

Untuk kali ini, aku biarkan sang waktu menggulung kau, aku beserta luka yang tak terlihat. Hingga kelak, aku mampu keluar dari jeratan sang waktu dan temukan kata sembuh dari luka ini, meski sendiri. 

Minggu, 30 Maret 2025

Menyimpan Rindu

3/30/2025 05:17:00 AM 0 Comments


Aku masih bisa menuliskan namamu di layar. Masih bisa menyusun kata demi kata, lalu ku kirimkan sebagai pesan, dan menunggu balasanmu dengan debar yang sama. Kita masih berbicara, masih berbagi cerita—seolah tak ada yang berubah.

Tapi tetap saja, ada sesuatu yang kosong di antara kita.

Sebab, bagaimana mungkin aku mengungkapkan rindu yang tak bisa ditebus oleh waktu? Bagaimana mungkin aku menjelaskan bahwa setiap percakapan kita hanya menambah resah, sebab aku tahu, kau ada di sana, tapi tak mungkin ku datangi? Kau ada untukku, tapi hati dan ragamu seutuhnya tak bisa ku miliki. Dan aku tau, kau ada tapi tak akan pernah berada dalam dekapku secara nyata. 

Aku menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa aku ingin bertemu. Bukan karena aku takut kau menolak, tapi karena aku tahu, ada batas yang tak bisa kita langkahi. Ada keadaan yang memaksa kita hanya untuk saling menemukan dalam baris-baris pesan, tanpa pernah benar-benar hadir di hadapan satu sama lain.

Aku menyimpan rindu ini sendirian. Merelakan perasaan yang tak bisa diungkapkan lebih dari sekadar kata. Sebab aku paham, tak semua rindu berhak menemukan jalannya. Tak semua rindu harus berujung pada temu. Ada yang harus bertahan dalam diam, ada yang harus cukup dengan kata-kata, dan ada yang hanya bisa menjadi bayangan samar dalam ruang yang tak lagi bisa dijejaki.

Dan aku? Aku memilih menyimpan rindu ini dalam sunyi. Dalam ruang yang tak bisa terjamah oleh siapapun. Dan aku memilih menyimpan rindu ini dalam rapalan doa di hadapan sang pencipta. 

Mungkin terlihat konyol dan memalukan. Tapi satu-satunya yang paling tahu seberapa besar rindu yang ku simpan adalah Dia, Sang Maha Tahu. Sebab aku tahu, memintamu datang hanya akan menjadi permohonan yang tak seharusnya ku ucapkan. 

Dinding pembatas kita terlalu tinggi berdiri kokoh. Sulit untuk dihancurkan hanya untuk mengumbar rindu yang memang tak semestinya terungkap. Jarak kita terlalu jauh. Antara harapan yang begitu indah dengan realita yang begitu menyesakkan.

Maka, biarkan aku menyimpan rindu ini. Meski sendirian dan entah sampai kapan. Setidaknya, cukup aku yang hancur tanpa harus menghancurkan apapun dan siapapun di antara kita.

Senin, 24 Maret 2025

Mengetuk yang Sia-sia

3/24/2025 04:56:00 AM 0 Comments


Aku pikir, rindu adalah luka yang masih bisa kutoleransi. Setidaknya, selama ini aku masih punya cara untuk mengobatinya—walau hanya dengan cara yang menyedihkan. Aku tak bisa memilikimu, tak bisa hadir di sisimu. Tapi aku masih bisa mengintip duniamu dari jauh, meski hanya lewat layar ponsel yang dingin dan bisu.

Namun kini, semua itu pun tak lagi bisa kulakukan.

Kau mengunci pintu yang selama ini diam-diam kusinggahi. Kau menutup akses bagi mataku untuk sekadar mencari jejak langkahmu. Aku tak lagi bisa membaca cerita harimu, melihat senyummu dalam potret yang kau unggah, atau sekadar menebak-nebak isi hatimu dari kalimat-kalimat yang kau tulis. Aku kehilangan satu-satunya jalan untuk mengobati rinduku, dan kini aku benar-benar terkurung dalam kehampaan.

Rindu ini berubah menjadi luka yang lebih dalam. Bukan hanya karena aku tak bisa melihatmu, tetapi karena aku sadar, aku memang bukan siapa-siapa bagimu. Jika dulu aku hanya sebatas bayangan di kejauhan, kini aku bahkan tak lagi memiliki ruang untuk sekadar mengintip dari balik tirai.

Aku ingin bertanya, ingin menuntut penjelasan, ingin berteriak bahwa ini tidak adil. Tapi untuk siapa aku mengadu? Untuk siapa aku meminta pengertian? Untuk alasan apa aku menuntut penjelasan? Bukankah sejak awal aku tahu di mana seharusnya aku berdiri bagimu?

Aku hanya bisa menelan pahitnya kenyataan. Seperti burung yang kehilangan langitnya, seperti laut yang tak lagi bisa menyentuh pantainya. Aku sendirian, terperangkap dalam rindu yang tak bisa kutuangkan ke mana-mana.

Dan entah sampai kapan aku akan tetap berdiri di sini, mengetuk pintu yang telah kau kunci, berharap suatu saat nanti kau akan membukanya lagi.

Meskipun aku tahu, harapan itu mungkin hanya akan menjadi kesia-siaan lain yang kupelihara dalam diam. Mungkin harapan itu hanya akan menjadi luka baru yang harus ku dambakan. Dan mungkin, harapan itu pula yang akan tetap kupeluk, bahkan saat ragaku abadi bersama bumi.

Minggu, 23 Maret 2025

Ombak Luka yang Tak Surut

3/23/2025 09:38:00 AM 3 Comments


Bantu aku untuk keluar dari labirin cinta ini. Aku tersesat dalam pusaran namamu, semakin berusaha keluar, semakin aku tenggelam. Aku lelah jatuh cinta sendirian, sedangkan kamu sudah melanjutkan perjalanan cintamu dengan orang baru. Langkahku semakin goyah, nyaris ku kehilangan daya karena masih terjebak di labirin cinta yang salah, sedangkan aku sendirian mencari jalan keluarnya. 
Aku tau, ini adalah kesakitan yang telah ku pilih sendiri. Luka yang sengaja kupelihara. Kebodohan yang sengaja ku nikmati. Untuk tetap berada di sisimu, menyaksikan kamu mencari dan menjemput bahagiamu. Sambil berharap, setelah ini akan lahir kebencian yang mendalam dari lubuk hati agar aku mempunyai alasan untuk tak lagi menatapmu meski dari kejauhan. Aku ingin sekali membencimu, benar-benar ingin! Tapi hatiku justru merangkul rasa sakit ini seperti sahabat lama yang enggan pergi. Semakin hari aku semakin sakit. Tapi aku tidak bisa membencimu! Sedikit pun aku tak bisa! 
Justru yang hadir di sudut hatiku adalah marah, kecewa, sedih, dan luka! Namun aku menikmati setiap perihnya. 
Karena berada di sisimu dan menikmati semua rasa itu datang seperti menyaksikan gemuruh ombak yang berkejaran. Terkadang hadir begitu pasang dan keras menghantam karang, dan terkadang datang dengan surut yang hanya membelai bibir pantai. Lalu aku, menikmati setiap desirannya. Aku menikmati setiap debur gemuruhnya. Tak lagi penting seberapa sakit ombak pasang menggulungku, hingga napasku terasa begitu berat. Asal aku, tetap berada di sisimu. 
Aku mungkin seperti kapal kecil yang terus terombang-ambing di laut tak bertepi, kehilangan arah, terjebak dalam arus yang sama. Namun laut pun tak selamanya bergelora. Entah kapan, mungkin suatu saat nanti, angin akan membawaku ke tepian yang tak lagi berbisik namamu. Mungkin juga aku akan kembali dibawa kepada dermaga asalku berada. Tempat di mana gelombang tak lagi mengajakku mengingatmu, dan aku akhirnya benar-benar bebas dari semua tentangmu.

Minggu, 09 Maret 2025

Di Antara Altar dan Mimbar

3/09/2025 05:43:00 AM 0 Comments


Di antara altar dan mimbar. Aku pernah menjadi orang bodoh yang menggantungkan cinta di sana. Melukis harap di atas kanvas semesta, agar kita berada pada titik yang sama. Berjalan merajut cita dan cinta bukan lagi berlandaskan seamin namun tak seiman. Aku pernah menjadi orang yang paling berharap terlalu tinggi, bahwa akan ada masa dimana kita berjalan menuju satu tempat yang sama. Melirihkan permohonan yang sama. Dengan amin dan iman yang sama. Tapi ternyata, aku menjadi orang yang paling dalam terjatuh karena harapanku sendiri.
Kamu tau? Kamu adalah seseorang yang terlalu baik untuk aku yang begitu kacau. Kamu si paling tenang untuk aku yang sering kali berisik menghadapi kenyataan. Kamu si paling tau bagaimana membuat ku harus bisa bernapas lagi di kala aku dihantam oleh badai yang begitu mencekik hidupku dan memilih untuk menyerah dari perjalanan ini. Kamu yang telah memberikan ku harapan bahwa akan ada kebahagiaan setelah sekian banyak luka yang ku derita. Kamu memberikan cinta serta mengisi kekosongan yang sering kali membuatku begitu rapuh. Kamu seperti malaikat penolong yang datang di saat aku sedang begitu hancurnya. 
Namun, sebaik dan sesempurna apapun kamu di mataku, harusnya aku tak pernah menaruh harap apalagi menggantungkan cinta kepadamu. Harusnya aku sadar bahwa aku sedang menciptakan kesakitan ku sendiri, saat ku tahu, aku melirihkan doa dengan lafaz "Ya Allah Ya Rahman" sedangkan kamu dengan kalimat "Dalam nama Bapa, Anak, dan Roh kudus." Tapi bodohnya, aku menikmati kesakitan yang perlahan ku ciptakan sendiri.
Aku pernah berpikir bahwa cinta akan menemukan jalannya sendiri. Bahwa kasih yang tumbuh di antara kita bisa menjembatani semua perbedaan, meruntuhkan dinding-dinding yang menghalangi, dan menyatukan dua hati yang saling memilih. Tapi ternyata, cinta pun punya batasnya. Ada garis yang tak bisa kita langkahi, ada doa yang tak bisa kita satukan, ada jalan yang tak bisa kita tempuh bersama.
Aku pernah memimpikan hari di mana aku menggenggam tanganmu di hadapan-Nya. Tapi di mana? Di depan altar atau di depan mimbar? Siapa yang akan kita panggil dalam doa, kepada siapa kita berserah? Aku mulai sadar bahwa tak peduli seberapa erat kita bertahan, dunia tak akan selalu berpihak pada kita.
Kita mencoba mengingkari kenyataan, berpura-pura bahwa waktu akan melonggarkan genggamannya. Tapi kita lupa, waktu hanya akan memperjelas luka. Cinta yang kita peluk erat, justru perlahan menggoreskan nyeri yang semakin dalam.
Kini, aku berdiri di persimpangan yang tak menawarkan pertemuan. Aku di sini dengan keimananku, dan kamu di sana dengan keyakinanmu. Kita saling memandang, tetapi tak bisa lagi melangkah mendekat. Kita saling mencintai, tetapi tak bisa lagi menggenggam.
Aku mencintaimu, bukan karena kita sama, tetapi karena kita berbeda dan tetap memilih untuk bertahan. Namun, cinta saja tidak cukup. Karena pada akhirnya, kita harus melepaskan—bukan karena berhenti mencinta, tetapi karena harus menghormati apa yang tak bisa disatukan.
Dan di antara altar dan mimbar, aku belajar bahwa perpisahan ini bukan tentang kekalahan, melainkan tentang keikhlasan. Tentang cinta kita yang bertahta di kasta tertingginya—bukan untuk dimiliki, tetapi untuk dimengerti. Dan aku ikhlas, tetap mencintai tanpa harus merebutmu dari Sang Penciptamu.