Nyanyian Rindu yang Tersesat
Di bawah langit yang menyulam mendung,
angin malam membawa nyawa ingatan,
seperti dawai gitar yang patah nada,
kau adalah irama yang terus berdenging di lubuk hati,
meski bisu waktu telah menelan kisah kita.
Aku adalah perahu kecil di samudra tanpa tepi,
mencari pelabuhan yang telah runtuh,
kau, mercusuar yang dulu memandu,
kini hanya bayangan pendar di kejauhan,
tenggelam dalam kabut waktu yang tak terurai.
Rindu ini seperti bunga yang tumbuh di gurun,
akar menggali pasir, haus tanpa akhir.
Kata-kata yang tak terucap menyusun puisi bisu,
melukis dirimu di kanvas kenangan
yang warnanya memudar, namun tak pernah hilang.
Bulan menyusup ke jendela malam,
membisikkan rahasia yang hanya kita tahu.
Tidakkah kau mendengar?
Nyanyiannya memanggil namamu,
meski hanya gaung sunyi yang menjawab.
Kau, hujan pertama di musim kering,
aku menadahmu dengan jemari yang retak,
namun genggaman itu selalu gagal.
Kau mengalir,
meninggalkan jejak di tanah hatiku yang retak.
Jika waktu adalah serupa kunci,
biarlah ia membuka pintu yang tak pernah kututup.
Namun aku tahu,
kau adalah matahari senja,
yang indah dalam jarak,
dan fana jika disentuh.