Kamis, 20 November 2025

Pelukan yang Tertunda

11/20/2025 11:17:00 AM 0 Comments

 


“Pa, minggu depan aku sidang skripsi.” Ucap Andhita di sela makan malamnya bersama Papa.

“Hmm. Terus kenapa?” jawab Papa. Masih dengan aura dingin, dan tak peduli seperti biasanya.

Andhita menarik senyum pahit yang ia coba sembunyikan dari tatapan sang ayah. Seperti biasa, Ta! Lu ada tapi seolah tak terlihat! Ngapain juga kasih laporan, apalagi berlagak minta didoakan. Lucu! Gumam Andhita dalam hati.

“Terus kenapa kalau kamu mau sidang? Semuanya udah dibayarkan, kan? Apa lagi?” tanya Papa tanpa keramahan sedikitpun.

“Gak, Pa. Cuma mau kasih tau dan minta doa dari Papa aja.” jawab Andhita sambil menahan perih dalam hatinya.

“Oh.” Jawab Papa dengan sangat singkat yang langsung bangkit dari kursinya dan meninggalkan Andhita di ruang makan sendirian.

Ini bukanlah kejadian pertama yang Andhita dapatkan dari Papanya. Mestinya enggak harus sesakit ini, Ta. Bukannya udah biasa dengan perlakuan seperti itu? Andhita bertanya kepada dirinya sendiri.

Ya! Sikap dingin, tak peduli, dianggap tak ada, bahkan seringkali disebut sebagai anak pembawa sial, sudah sering kali Andhita dapatkan semenjak lima tahun lalu sang mama pergi untuk selamanya.

Andhita menyeka air mata yang sudah siap terjun bebas dari ujung matanya. Sebisa mungkin ia menahan rintik air matanya sambil membereskan piring kotor dan meja makan agar terlihat rapih kembali.

Selesai membereskan piring-piring dan dapur serta ruang makan, Andhita kembali ke kamarnya. Ia segera merebahkan badannya di atas tempat tdirunya yang hanya berukuran 60x120cm. Ia merasa sangat lelah. Bukan karena pekerjaan rumah apalagi persiapan sidang skripsinya. Karena yang membuatnya merasa sangat lelah adalah sikap papanya sendiri. Bertahun-tahun lamanya Andhita berada di keadaan yang sama sekali membuat ia tak nyaman. Bertahun-tahun pula ia terjebak dalam keadaan merindukan kedua orangtuanya.

Andhita membalikkan badan, menatap potret mama dan papanya yang ia pajang di atas nakas samping tempat tidur. Ia pun merubah posisinya. Ia duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap potret mama dan papa yang kini sudah berada dalam genggamannya.

“Aku berdosa banget ya, Ma? Udah membuat Mama harus meninggalkan Papa secepat ini?” lirih Andhita sambil menatap potret sang Mama yang tersenyum begitu manisnya.

“Ma, semenjak Mama pergi, aku bukan cuma kehilangan Mama. Aku juga kehilangan Papa. Papa ada secara fisik di sini, aku yang menemani Papa setiap hari semenjak Mama pergi. Tapi nyawa dan hati Papa gak ada lagi buat aku, Ma. Aku rindu Papa yang dulu. Aku rindu Papa yang hangat dan perhatian sama aku, Ma. Dosa ku besar banget ya, Ma? Sampe Tuhan harus menghukumku seperti ini?” lanjut Andhita sambil menatap potret Mama dan Papa nya bergantian. Ia biarkan wajahnya basah oleh air mata. Ia membiarkan bulir air mata itu membicarakan kerinduan yang menyesakkan dadanya selama ini.

***

Lima tahun lalu.

Andhita baru saja melewati hari terakhir ujian sekolahnya. Sebagai tanda syukurnya, Andhita meminta ijin kepada Mama untuk pergi jalan-jalan dengan sahabat-sahabatnya sepulang sekolah sebagai bentuk perayaan kecil-kecilan karena mereka sudah melewati hari-hari ujian sekolah yang cukup menjadi beban untuk mereka.

Dengan segala pertimbangan, Mama mengijinkan Andhita pergi bersama sahabat-sahabtnya itu. “Tapi nanti pulangnya Mama yang jemput. Kasih tau aja kalian jalan kemana.” Titah sang Mama kepada Andhita. Dengan senang hati Andhita mengiyakan pesan sang Mama.

Setelah seharian penuh berjalan-jalan bersama sahabat-sahabatnya, Andhita merasa puas. Senyum tak lepas dari wajahnya. Ia kemudian ingat pesan mama untuk menghubunginya saat sudah siap untuk dijemput pulang.

"Ma, aku di mall biasa ya. Sebentar lagi pulang." Ucap Andhita ketika sambungan telepon dijawab oleh Mama.

“Tunggu di situ, Mama segera jemput.” Suara hangat Mama memberikan rasa aman dan nyaman di telinga Andhita.

“Oke, nanti aku tunggu di lobi pintu utama aja ya, Ma.”

“Iya. Tunggu ya.”

Andhita menunggu dengan hati penuh gembira, membayangkan akan menceritakan keseruan hari ini pada Mama di perjalanan pulang.

Namun, menit berlalu hingga tanpa terasa sudah bergulir satu jam. Mama belum juga datang. Berkali-kali Andhita melirik jam di ponselnya, sambil matanya panjang menatap jalan menunggu Mama datang dengan vios kesayangannya. Kalau dari kantor Mama harusnya lima belas menit juga udah sampe. Ini kenapa belum keliatan juga ya? Bisik hati Andhita yang sudah mulai cemas. Hingga akhirnya telepon dari Papa masuk.

“Andhita, kamu di mana sekarang?” suara Papa terdengar berbeda, lebih cepat dan cemas.

“Di mall biasa, Pa. Lagi nunggu Mama jemput ini. Mama tadi bilang sudah mau jemput aku.” Jawab Andhita.

“Pulang sendiri, sekarang!”jawab Papa dengan begitu tegasnya.

“Tapi, Pa.”

“Papa bilang pulang sendiri, sekarang!” Dengan cepat papa memotong ucapan Andhita.

 “Mama… Mama kecelakaan, kondisinya kritis sekarang.” lanjut Papa singkat, seakan berat mengatakan hal itu.

Dunia Andhita terasa runtuh seketika. Kakinya lemas, jantungnya berdegup tak karuan.

“Nyokap gue kecelekaan, Re.” ucap Andhita kepada Rena yang masih setia menemaninya. Rena berusaha menenangkan, namun Andhita tak bisa mendengar apa pun. Dengan tatapan kosong, derai air mata, juga rasa bersalah yang mendadak memeluknya erat, ia hanya terdiam duduk tanpa tau harus berbuat apa.

Sehari pasca kecelakaan itu, Mama meregang nyawa di ruang ICU. Rasa bersalah Andhita semakin menjadi. Murkanya sang Papa tak bisa ia hindari. Sejak hari itu, Andhita disebut sebagai anak pemberi musibah. Bahkan yang menyebutnya seperti itu adalah ayahnya sendiri. Lelaki sebagai cinta pertamanya. Lelaki pertama tempat ia berlindung.

***

Andhita menggenggam potret itu semakin erat, mengingat malam itu—malam yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi malam terakhirnya bersama Mama. Dalam pikirannya, ia selalu membayangkan bahwa jika ia tidak pergi bersama teman-temannya, mungkin Mama masih ada di sini.

Ia ingin meminta maaf pada Papa atas hari itu. Namun setiap kali ia mencoba, hanya dingin yang didapatnya. Andhita tidak pernah mendapat kesempatan untuk menjelaskan atau meminta pengertian Papa. Hanya kesedihan, rasa bersalah, dan jarak yang semakin lebar yang ada di antara mereka.

Andhita pulang larut malam, membawa kepenatan setelah sidang skripsi yang akhirnya selesai. Seusai sidang skripsi, Andhita tidak segera pulang ke rumah. Ia memilih untuk singgah sebentar ke makam Mama. menceritakan bagaimana perjuangannya untuk bisa sampai menyelesaikan kuliahnya tanpa mama, juga kehangatan sang papa.

Sesampainya di rumah, ia menemukan Papa duduk di ruang tamu, terlihat termenung dengan tatapan kosong.

“Sidang sudah selesai, Pa,” ucapnya pelan, berharap ada sedikit kehangatan dari Papa.

Papa menatapnya sejenak, kemudian mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa. Seperti ada sesuatu dalam dirinya yang memberontak, Andhita tidak lagi bisa menahan perasaannya. Ia pun segera duduk di samping Papa setelah meletakkan beberapa bawaannya di sofa kecil di sampingnya.

“Papa, aku cuma ingin Papa tahu, aku sudah melakukan yang terbaik. Aku sudah berusaha untuk sampai di titik ini. Aku hanya ingin Papa bangga atas pencapaianku, Pa.”

Papa tak sedikitpun bergeming.

“Tapi kenapa Papa selalu melihat aku sebagai anak yang membawa sial? Kenapa aku selalu disalahkan atas kepergian Mama?” Suaranya mulai bergetar. Tangisnya pun mulai pecah.

Papa masih terdiam, matanya sedikit membelalak, seakan kalimat itu menusuk jauh ke dalam dirinya. Beberapa detik berlalu tanpa ada respons. Andhita merasa lega, sekaligus takut. Andhita menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Namun, hatinya sudah telanjur memanas.

“Papa tahu nggak, selama lima tahun ini aku selalu merasa sendirian. Aku kehilangan Mama, lalu Papa juga pergi.”

“Papa ada, gak pernah pergi. Dan kamu tau itu.” sergah Papa cepat.

 “Papa memang ada di sini, tapi aku merasa seperti anak yatim. Setiap hari aku merasa bersalah karena Mama pergi saat ingin jemput aku, dan aku tahu Papa menyalahkanku! Papa ada di sini, tapi Papa menjauh. Aku merasakan itu, Pa!”

Papa terdiam, ekspresinya masih dingin, tapi ada bayangan rasa sakit di matanya. “Papa… nggak pernah bermaksud begitu, Ta.”

“Kalau nggak, kenapa Papa selalu bersikap seolah aku ini nggak penting? Kenapa semenjak nggak ada Mama perhatian Papa hanya berupa materi, uang, uang dan uang? Aku cuma mau Papa sadar aku masih di sini, Pa. Aku rindu Papa yang dulu. Yang hangat. Yang perhatian. Papa yang… pernah sayang sama aku dengan begitu sempurna.” Tangin Andhita semakin pecah.

Papa menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya, tatapannya melunak. Ia meletakkan tangannya di atas lututnya, suaranya rendah dan berat.

“Papa kehilangan arah waktu Mama pergi, Ta. Selama ini… Papa nggak tahu cara menghadapi rasa bersalah dan kehilangan itu. Papa pikir dengan menyalahkan, dengan bersikap dingin, semua rasa itu bakal hilang. Tapi ternyata justru Papa membuat jarak kita semakin jauh.”

 “Papa tahu, setiap malam aku selalu bertanya-tanya, apa aku memang salah? Apa aku yang buat Mama pergi? Apa aku sejahat itu dalam hidup Papa? Dan kenapa Papa nggak pernah kasih aku jawaban?” getar suara Andhita mengucapkan itu.

Papa akhirnya menundukkan kepalanya. “Kamu nggak pernah salah, Ta. Mama pergi karena kecelakaan, itu bukan salahmu. Tapi Papa butuh waktu lama untuk menerimanya. Papa menyesal nggak pernah kasih kamu kesempatan untuk bicara.” Ujar Papa dengan suaranya yang mulai serak.

Andhita semakini terisak, dan tanpa disadari, Papa meraih tangannya. Ini pertama kali sejak bertahun-tahun mereka saling berjarak dan menjauh. Semenjak lima tahun berlalu, mungkin ini sentuhan pertama Papa kepada Andhita, sentuhan dengan penuh perasaan. Hangat, sekaligus menyakitkan.

“Aku rindu Mama, Pa. Aku rindu keluarga kita yang dulu. Aku cuma ingin kita bisa kembali, walaupun mungkin nggak sempurna seperti dulu. Dita rindu Papa yang dulu. Yang selalu ada buat Dita di kondisi apapun. Dita cukup kehilangan Mama, Pa. Dita nggak mau kehilangan Papa. Dita kangen Papa.” Lirih suara Andhita mengutarakan isi hatinya.

Papa mengangguk pelan, matanya basah. “Papa juga rindu, Ta. Dan kalau kamu mau, kita bisa mulai lagi. Mungkin pelan-pelan, tapi Papa janji nggak akan biarkan kamu merasa sendirian lagi.”

“Dita boleh peluk Papa?” tanya Dita sambil menatap wajah Papa dengan matanya yang basah.

Tanpa menjawab, Papa menarik Andhita kedalam pelukannya.

Hangat. Menenangkan. Merasa aman dan nyaman. Itulah yang dirasakan Andhita. Kehangatan, rasa nyaman dan aman yang selama lima tahun ini ia kehilangannya.

“Dita kangen Papa. Jangan menjauh lagi ya, Pa. Dita minta maaf.” Lirih Andhita dalam pelukan Papa.

Dengan lembut Papa mengecup puncak kepala Andhita. Ada getar rindu yang tak bisa dipungkiri oleh Papa. Juga ada rasa bersalah atas sikapnya yang selama ini mengabaikan dan menyalahkan putri semata wayangnya itu.

“Papa yang minta maaf. Kamu nggak salah, Ta. Maaf sudah membuat kamu harus merasa kehilangan Papa juga.”

Andhita tak dapat menjawab apapun. Pelukannya semakin erat. Tangisnya pun semakin pecah. Kali ini, tangis yang berderai dari matanya adalah tangis haru karena kembalinya Papa yang selama ini ia rindukan. Tuhan, tolong panjangkan waktuku dan Papa untuk bisa selalu bersama. Untuk menebus segala kerinduan yang selama ini ku simpan sendirian. Tolong, jangan jemput Papa untuk pulang sebelum aku membahagiakannya.

Senin, 17 November 2025

Rindu Yang Ku Peluk Sendiri

11/17/2025 10:52:00 AM 0 Comments



Ketika kamu mengatakan bahwa ini adalah cinta, aku dengan tegas menyangkalnya. Bukan. Kali ini bukan lagi perihal cinta. Entah… bahkan aku merasa cinta ini telah habis ditelan kecewa realita. Aku tak lagi mengerti apa makna dari sebuah kata mencintaimu, setelah sekian banyak fakta yang kau hadirkan di depan mataku—mata yang dulu masih menatapmu penuh rasa.

Jika kamu bertanya apakah ini perihal rasa sayang yang masih tertinggal, mungkin aku akan menjawab dengan ragu bahwa iya… ada sedikit rasa yang tertinggal. Tapi kali ini aku hanya ingin peduli secukupnya, tanpa dua perasaan itu. Perasaan yang dulu sempat membuatku jatuh, terpuruk, meratapi harapan yang ternyata menyakitkan.

Aku pernah berjuang melepasmu, juga berusaha melupakanmu. Namun setiap usahaku selalu berakhir sama: sia-sia. Selalu ada kata mustahil yang berdiri di antara aku dan keinginan untuk benar-benar menjauh darimu. Aku mencoba menanam bibit benci, berharap itu bisa mengusir bayangmu dari hidupku—tapi aku gagal. Kamu terlalu melekat dalam memori kenangan indah untuk bisa kubenci.

Aku kira waktu akan mampu meniadakanmu dari pikiranku. Aku kira, aku bisa begitu yakin bahwa setiap rasa yang tertuju padamu akan lenyap. Tapi ternyata, rindu lebih berkuasa. Ia selalu menemukan celah untuk menghadirkanmu di sela-sela langkahku. Ia selalu berhasil menggoyahkan keputusanku untuk tidak lagi memikirkan dan mengkhawatirkan segala hal tentangmu. Ia menyadarkan ku, bahwa ternyata cinta yang hanya sebentar singgah, rupanya memilih tinggal lebih lama. Dalam ruang diam yang mengubahnya menjadi rindu yang sunyinya tak bisa ku tolak. Rindu yang tahu dirinya tak punya ruang untuk kembali, namun mengingkannya pulang ke hati kecil yang sangat merindu.

Namun pada akhirnya aku selalu sadar, rindu ini cukup ku peluk sendiri, dalam diam, dalam sunyi, dalam harapan yang tak pernah menjelma nyata. Karena kita tidak akan pernah bisa bersama.

Selasa, 21 Oktober 2025

Ikhlas Yang Tertinggal

10/21/2025 08:14:00 PM 0 Comments


Terkadang aku berpikir...

Kenapa kesunyian selalu berhasil memutar kembali rekam kenangan yang sudah ku kubur perlahan? Kenapa sepi selalu mengetuk dinding hati hanya untuk menghadirkan rindu? Kenapa kesendirian selalu memunculkan senyuman yang selalu ingin aku lupakan?

Jujur, aku tak pernah benar-benar menemukan jawabannya. Mungkin karena hati tak pernah benar-benar bisa menolak apa yang pernah membuatnya bahagia. Mungkin karena dia terlalu berharga atau terlalu dalam menggoreskan rasa.
Atau mungkin, karena aku terlalu sering berusaha melupakan, sampai lupa caranya menerima bahwa kehilangan juga bagian dari hidup yang harus dijalani.

Kehilangannya membuat aku belajar. Belajar melepaskan dan mengikhlaskan. Aku pun belajar bahwa ikhlas bukan berarti berhenti mengingat, tapi berhenti berharap semua bisa kembali seperti dulu.
Ikhlas adalah ketika aku bisa menatap luka yang sama tanpa lagi merasa perih.
Ikhlas adalah saat aku bisa menyebut namanya dalam doa, tanpa menuntut takdir untuk mengulang pertemuan. Ikhlas adalah saat aku tau dia bahagia, aku pun ikut tersenyum karenanya. Ikhlas adalah saat aku bisa menceritakan tentangnya di hadapan Tuhan tanpa harus memaksa untuk dipersatukan.

Tapi, Ikhlas pun masih boleh merindukan, kan? Merindu tanpa harus tau apakah rindu ini bersambut atau terabaikan.

Dan kini, setiap kali rindu datang tanpa permisi, aku hanya tersenyum kecil.
Bukan karena sudah lupa, tapi karena akhirnya aku paham—
beberapa hal hanya hadir untuk dipertemukan bukan untuk dipersatukan, dan karena beberapa hal memang harus dibiarkan pergi, untuk kita menjadi lebih baik atau menemukan yang lebih tepat.

Senin, 25 Agustus 2025

Lupa yang Tak Pernah Nyata

8/25/2025 01:35:00 PM 0 Comments

Aku tahu, hidup ini adalah perjalanan siklus dari sebuah pertemuan, perpisahan, tawa, dan juga air mata. Semua pasti akan terjadi. Entah siapa lebih dulu memilih untuk meninggalkan, ataupun ditinggalkan. Sama hal nya dengan kita. Tiba-tiba Tuhan mempertemukan, tapi seketika, keadaan memaksa kita untuk saling melepaskan. 

Aku pikir, aku akan dengan mudah melupakan. Sama seperti ketika waktu dengan mudah mempertemukan, dan aku dengan mudah menyambut kehadiranmu. Nyatanya, melupakanmu ternyata bukan soal peran sang waktu, tapi soal luka yang tak pernah berhenti mencari cara untuk mengingat. Aku selalu mencoba menghapus tentangmu perlahan, menutup bayangmu dari ingatan. Namun yang terjadi adalah setiap langkah untuk menjauh, selalu menyeretku kembali pada jejakmu.

Aku mencoba menyibukkan diri, mengisi hari dengan tawa baru, berjalan di jalan yang tak pernah kita lalui bersama. Tapi tetap saja, bayanganmu selalu hadir di sela-sela senyumku yang paling pura-pura. Segala tentangmu selalu hadir dalam rindu yang paling sunyi, yang ku sembunyikan di balik tirai malam.

Mereka bilang, waktu akan menyembuhkan. Tapi mengapa setiap detik justru membuatku lebih sakit? Mengapa aku merasa semakin jauh dari sembuh? Padahal aku sudah berusaha sekuat itu. Hingga merapalkan namamu dihadapan Tuhan pun sudah hampir ku tiadakan. Tapi kenapa? Kenapa lagi-lagi harus tentang kamu yang membuat gaduh isi kepalaku?

Pada akhirnya, aku tahu seberapa banyak aku berjuang untuk melupa, sebanyak itu pula aku tersiksa.
Dan seberapa banyak cerita baru tercipta, sebanyak itu pula cerita lama melekat— dan menjadi pemenangnya. Aku benci harus mengakuinya, tapi fakta yang ada memang kamu masih jadi alasan dari setiap kosongku. Dan aku masih kalah, dalam peperangan yang seharusnya bisa kumenangkan.

Selasa, 19 Agustus 2025

Sunyi Di Antara Aku dan Dia

8/19/2025 02:18:00 PM 0 Comments


Aku tak tahu sejak kapan jarak ini tumbuh tanpa bisa kutahan.
Mungkin sejak kata-kata berhenti mencari telinga, dan rindu berhenti menemukan tempat pulang.
Mungkin sejak matanya tak lagi menatap dengan rasa, hanya dengan sekilas yang hambar.
Sejak saat itu, aku seperti hidup di dunia yang sama, tapi di ruang yang berbeda.

Ada aku, dengan segenggam rindu yang terus berdegup.
Ada dia, dengan segenggam alasan yang tak pernah ingin ia ceritakan.
Dan di antara kami, ada sunyi.
Sunyi yang lebih bising daripada keramaian.
Sunyi yang menggigit lebih dalam daripada dingin malam.

Aku benci sunyi ini.
Aku benci bagaimana aku masih terus menaruh harap,
sementara dia seperti sengaja meluruhkan setiap detik bersamaku menjadi abu.
Aku benci menatap layar ponsel yang kosong dari kabarnya,
padahal dulu ia pernah menjadi suara yang paling kurindukan.
Kini, ia hanya bayang samar yang berdiri di kejauhan,
membiarkan aku menunggu sesuatu yang tak lagi ingin ia beri.

Kadang aku bertanya,
apa salahku hingga hangatnya berubah jadi beku?
Kenapa aku masih berusaha menyulam kembali,
sementara dia perlahan merobek setiap benang yang kupintal?

Aku ingin membencinya, benar-benar membenci.
Tapi bagaimana bisa?
Jika setiap bayangannya masih menetap di dalam mataku.
Jika setiap kenangan tentangnya masih menempel di napasku.
Jika setiap luka yang ia torehkan justru semakin menegaskan betapa aku masih mencintainya.

Dan setiap kali aku mencoba pergi, ada sesuatu yang menahanku—
seolah hatiku sendiri menjadi penjara yang kuncinya ia simpan.
Sunyi di antara aku dan dia bukan sekadar jeda,
ia adalah dinding tinggi yang tak bisa kutembus.
Aku mengetuk, tapi dia tak pernah menjawab.
Aku menunggu, tapi dia tak pernah kembali.

Yang paling menakutkan adalah…
barangkali dia memang sudah benar-benar pergi,
sementara aku masih berdiri di tempat yang sama,
terikat oleh janji yang hanya aku anggap suci.

Mungkin, di antara aku dan dia,
yang benar-benar tinggal hanyalah sunyi.
Sunyi yang menolak pergi,
bahkan saat aku sudah tak punya tenaga lagi untuk bertahan.

Kamis, 07 Agustus 2025

Merasa Cukup

8/07/2025 11:07:00 AM 1 Comments

Apakah aku tak cukup bagimu? Setelah aku mendampingi mu waktu ke waktu. Memelukmu demi bangkit kembali dari satu masalah ke masalah baru. Apakah aku tak cukup? Apakah yang ku curahkan masih jauh dari kata cukup?

Aku hanya ingin merasa menjadi seseorang yang cukup untuk orang lain, terutama untukmu. Ya. Aku ingin hadirku cukup membuatmu tenang. Cukup membuatmu bahagia. Cukup memberikan alasan untukmu merasa harus semangat dan hidup lagi setiap harinya. Aku ingin hadirku cukup untuk kamu menemukan alasan bahwa duniamu akan selalu baik-baik saja.

Namun realitanya tidak! Aku tidak pernah cukup untuk kamu yang selalu mencari sempurna.

Setiap usahaku terasa seperti tetesan air di samudra tak bertepi. Aku berikan waktu, kasih, dan kekuatan, tapi matamu selalu mencari sesuatu yang lebih, sesuatu yang tak pernah kumiliki. Aku berdiri di tepi harapan, menatapmu yang terus berlari mengejar bayangan sempurna itu, meninggalkanku dengan pertanyaan yang menggantung. Apakah cinta yang kuberikan tak cukup manis? Apakah pelukan yang kuberikan tak cukup hangat?

Aku pernah menangis di malam yang sunyi, merasa kecil di bawah beban “tidak cukup” yang kau letakkan di pundakku. Tapi di tengah air mata itu, ada percikan cahaya—suara kecil dalam diriku yang mulai berani bicara. “Mengapa aku harus membuktikan cukup untuk seseorang yang tak melihat usahaku?”

Aku memilih mundur selangkah, memberi ruang untuk diriku sendiri. Aku belajar mendengarkan detak jantungku yang berbisik, “Kau sudah cukup, bahkan jika dia tak melihatnya.” Aku mulai menuai ketenangan dari dalam, dari setiap napas yang kuhirup di pagi hari, dari setiap senyum yang kujaga untuk diriku sendiri.

Kini, aku tak lagi memohon untuk dianggap cukup olehmu. Aku cukup untuk diriku sendiri. Cukup untuk bangkit setiap kali jatuh, cukup untuk mencintai hidup ini dengan caraku. Dan suatu hari, aku harap, aku akan menemukan seseorang yang melihat “cukup” itu—bukan sempurna, tetapi cukup—seperti yang kuperjuangkan untukmu dulu.

Selasa, 05 Agustus 2025

Perlahan Kembali Pulang

8/05/2025 11:11:00 AM 0 Comments



Aku ingin pulang. Pulang pada damai yang benar-benar aku impikan. Pulang pada diriku yang telah lama ku hilangkan. Aku telah terlalu jauh melangkah pada apa yang tak seharusnya. Menorehkan tinta hitam di setiap langkahnya, menorehkan garis pekat pada kanvas suci kehidupan yang seharusnya aku jaga. Terlalu banyak noda yang ku biarkan merusak keindahan hari yang semestinya mampu mendatangkan bahagia lebih dari yang sekadar ku ingin.

Aku ingin pulang. Pulang pada tenang yang mengabadikan bahagia di setiap detaknya. Pulang pada hatiku yang penuh kelembutan dan kasih sayang tanpa terkotori hal apapun. Aku telah terlalu lama membiarkan hati ini bermain pada tempat yang tak semestinya.

Langkahku terhenti di ujung jalan yang asing. Di sekitarku, dunia berputar dengan hingar bingar yang memekakkan. Suara-suara itu—tuntutan, harapan, dan bisikan dunia yang memaksaku menjadi seseorang yang bukan aku—menggema, mengikatku pada peran yang ku mainkan dengan terpaksa. Aku telah lama mengenakan topeng, tersenyum di baliknya, berbicara dengan kata-kata yang bukan milikku, dan berjalan di jalur yang ditentukan orang lain. Topeng itu kini terasa berat, menekan wajahku hingga napasku tersengal, hingga aku lupa bagaimana rasanya bernapas dengan bebas.

Di malam yang sunyi, ketika dunia akhirnya terdiam, aku duduk di sudut ruang yang kelam, menatap bayanganku di cermin. Wajah itu... apakah itu aku? Matanya lelah, penuh keraguan, penuh penyesalan. Aku mencoba mencari diriku yang dulu—seseorang yang tertawa tanpa beban, yang bermimpi dengan penuh harap, yang mencintai dunia dengan hati terbuka, yang selalu berjalan pada koridor yang semestinya. Tapi bayangan itu hanya menatapku kosong, seolah berkata, “Kau telah pergi terlalu jauh.”

Namun, di dalam dada, ada sesuatu yang masih berdenyut pelan. Sekecil apa pun, itu adalah sisa-sisa diriku yang lama, berbisik lirih, memanggilku untuk kembali. Aku ingin mendengarnya. Aku ingin memeluknya. Aku ingin pulang.

Aku mulai melepaskan satu per satu beban yang ku genggam erat. Harapan orang lain, mimpi yang bukan milikku, harapan untuk memiliki apa yang tak semestinya, dan rasa takut akan penilaian dunia—aku letakkan mereka di tepi jalan. Aku berjalan perlahan, menelusuri jejak-jejak yang dulu ku tinggalkan. 

Setiap langkah membawaku lebih dekat pada diriku yang sejati. Aku belajar mendengar lagi—bukan suara dunia, tetapi suara hatiku. Aku belajar melihat lagi—bukan apa yang diinginkan orang lain, tetapi apa yang membuat jiwaku hidup. Aku belajar merasakan lagi—bukan luka yang ku ciptakan sendiri, tetapi damai yang selalu ada di dalam diriku, menanti untuk ku temukan.

Aku belum sampai. Mungkin perjalanan ini masih panjang. Tapi aku tahu, di ujung sana, ada rumah. Rumah yang terbuat dari kejujuran, dari keberanian untuk menjadi diriku sendiri, dari cinta yang tulus pada hidup ini. Aku ingin pulang. Dan kali ini, perlahan langkahku membawa kembali pulang. Pada diriku. Pada hidup yang ku pilih dengan hati. Perlahan aku kembali pulang, pada tenang yang melahirkan kebahagiaan paripurna. 

Rabu, 16 Juli 2025

Belajar Kehilangan Yang Tak Pernah Lulus Aku Pelajari

7/16/2025 02:53:00 PM 0 Comments

 

Aku tahu, dalam hidup ini, siklus datang dan pergi adalah hal yang pasti. Entah siapa yang lebih dulu memilih untuk pergi—meninggalkan atau ditinggalkan—semuanya selalu jadi rahasia yang hanya semesta tahu jawabannya.

Aku terus belajar… belajar bagaimana cara melepaskan seseorang dengan baik, tanpa harus berhadapan langsung dengan ruang sakit, baik lahir maupun batin. Tapi sialnya, aku selalu gagal dalam pelajaran itu.

Aku tetap harus merasakan sakit. Sakit yang tak terlihat, tapi terasa begitu nyata. Butuh waktu, butuh hening, hingga akhirnya aku bisa berdamai dengan kehilangan yang tak pernah aku minta.

Tapi tak apa. Selama sakitnya belum membuatku harus menyapa dinding rumah sakit, artinya aku masih punya daya untuk menanggungnya sendiri.

Mungkin kali ini aku harus kembali belajar. Belajar untuk tidak berisik, tidak manja, tidak menahan siapa pun yang ingin pergi dari hidupku. Belajar untuk tidak cengeng, tidak lemah, dan tidak egois. Karena ternyata… yang benar-benar mencintai, tahu kapan harus merelakan—bahkan ketika hati belum siap kehilangan.

Aku belajar diam saat ingin bicara.
Belajar tegar saat ingin meminta tetap tinggal.
Belajar menjadi rumah, meski pintunya terus kau buka untuk pergi.

Tapi mungkin memang ada yang tak ditakdirkan untuk bertahan.
Bukan karena kurang cinta, tapi karena semesta tak pernah memberi kesempatan.

Dan kalau suatu hari kamu rindu, jangan biarkan aku tau bahwa kamu datang untuk melepas rindu secara diam-diam. Karena bisa jadi, aku sedang belajar lupa—dan itu butuh waktu yang sangat panjang.

Selasa, 15 Juli 2025

Bukan Milikku, Tapi Selalu Ku Rindu

7/15/2025 02:54:00 PM 0 Comments

Entah kenapa, rasanya sakit saat aku harus tahu dia sedang asik berbincang dengan yang lain.

Sedangkan aku di sini… menunggunya dengan penuh rindu.

Aku menahan diri untuk tidak menoleh, untuk tidak peduli. Tapi hati ini terlalu lemah untuk berdusta.
Aku cemburu!!
Bukan karena dia milikku—karena memang sejak awal ia tak pernah jadi milikku.
Aku hanya... merasa kalah oleh harapan dan mimpi-mimpiku sendiri.

Aku pikir aku bisa menahan rindu.
Aku pikir aku bisa pura-pura baik-baik saja.
Tapi nyatanya, setiap kali aku melihatnya tertawa bukan untukku, aku patah. Diam-diam, hatiku hancur berkeping!

Lucu, ya?
Bagaimana seseorang yang tak pernah benar-benar menggenggam hatiku, justru bisa mengikatku lebih erat dari siapa pun. Aku mencintainya dalam diam seribu bahasa. Aku merindukannya, dalam bayang-bayang yang selalu tak terlihat. Dan aku mencemburuinya dari balik senyum yang ku tarik paksa agar terlihat kuat.

Aku tahu, aku tak punya hak. Bahkan mungkin namaku pun tak pernah ia sebut dalam doa-doanya.
Tapi, anehnya aku di sini… tetap berharap, meski aku tak tahu untuk apa.

Aku tau, ia bebas mencintai siapa pun. Ia bebas tertawa dengan siapa pun. Dan aku… hanya bisa menunggu. Menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang.

Aku ingin pergi, sungguh. Tapi yang lebih menyakitkan dari bertahan adalah menyadari: aku bahkan tak pernah diminta untuk datang.

Jadi aku diam.
Bukan karena tidak ingin bicara.
Tapi karena tahu, suaraku tak pernah benar-benar didengar olehnya.

Dan jika suatu hari nanti ia membaca ini, aku ingin ia tahu, bawa ada seseorang yang pernah mencintainya dengan seluruh luka, dan selalu merindukannya meski tak pernah ia sadari keberadaannya. Ia mungkin tak akan pernah menjadi milikku, tapi ia akan selalu menjadi alasanku memelihara rindu. 

Senin, 30 Juni 2025

Seindah Takdir-Mu

6/30/2025 07:34:00 PM 0 Comments


Jika kamu adalah takdir ku, maka segalahya menjadi masuk akal mengapa aku harus terluka dahulu,

Mengapa aku harus melewati malam-malam panjang yang dingin tanpa pelukan, dan mengapa aku  begitu lama merasa sendiri. Karena rupanya, semesta sedang mempersiapkan cara paling lembut untuk mempertemukanku dengan dirimu..

Aku tak lagi ingin bertanya siapa yang akan menggengamku saat aku rapuh, karena setiap detik bersama mu menjawab tanya itu dengan cara paling indah, dengan tatapan mu yang tenang dengan cara mu diam-diam menjaga, dengan hadir yang tak pernah memaksa tapi selalu ada.

Bayangkan, pagi hari yang biasanya biasa, berubah menjadi syair hanya karena ada suaramu yang menyapaku lebih dulu. Dan malam, yang dulu terasa kosong kini jadi surga kecil hanya karena kita saling bercerita meski hanya tentang hal-hal sederhana.

Jika kamu adalah takdirku, maka aku tak perlu banyak berjanji atau rencana yang berlebihan, cukup hatimu menetap di sisiku, cukup tanganmu tak melepasku di tengah badai, cukup kamu menjadi tempat ku pulang saat dunia terasa asing dan aku mulai goyah.

Dan jika benar kamu adalah takdirku, maka aku ingin mencintaimu seperti anugrah yang di jaga sepenuh jiwa bukan dengan tergesa, tapi dengan kesandaran bahwa kehadiranmu adalah sesuatu yang takpernah kupinta, namun selalu aku sykuri dalam setiap helaan nafas dan sujudku yang paling lama.

Karena bersamamu...segalanya terasa seperti puisi yang ahirnya menemukan bait terahirnya penuh makna, dan berahir dengan Damai.