Rasa Bersalah
Sebelum sampai di angka dua tahun untuk saling mengenal, aku dan dia sepakat akan melanjutkan kisah kita hingga ke mahligai pernikahan.
Hai, Tuan... Kenapa harus perpisahan yang menjadi pilihan setelah kita pernah mencipta bahagia bersama? Kenapa harus kamu mencipta bahagia di orang lain, setelah kau pernah dengan sungguh menyatakan bahwa aku adalah kebahagian untukmu. Kenapa harus kau begitu meyakinkan hati ini, jika pada akhirnya kau pergi juga.
Hari-hari yang ku lalui tanpamu terasa begitu meyakitkan, Tuan! Setiap hari yang kulalui hanya menunggu kau kembali. Dan di saat ku sadar bahwa kau tak akan pernah datang lagi, maka aku mulai mencarimu di orang baru yang datang dalam hidupku. Terkesan jahat dan egois memang, tapi sesulit itu aku melupakanmu. Seberat itu hatiku untuk benar-benar melepasmu.
Aku tau, mencarimu pada orang lain hanya akan membuatku lelah dan membuang-buang waktu. Tapi, biarlah aku membunuh rasa yang kau tinggalkan dengan seperti ini caranya. Biarkan aku lelah hingga berjumpa titik putus asa hanya karena terus mencarimu pada setiap orang baru yang singgah dalam hidupku.
Kesakitanku, kehilanganmu, pada akhirnya menyadarkan tentang kata perpisahann bagiku.
Ya, perpisahan bagiku adalah satu kata yang membuatku mengerti makna dari sebuah menghargai perjumpaan dan kebersamaan. Tentang satu kata yang memahmkan diri dan hati bahwa ternyata, tak pernah ada yang abadi dalam hidup ini.
Siapa kira, jika dia yang dulu pernah membuatku merasa betapa indahnya rasa jatuh cinta, kini mencipta kehancuranku yang begitu paripurna? Cermin cinta yang ku punya dan ku jaga dengan begitu baiknya, dijatuhkan hingga hancur berkeping. Hingga akhirnya tak ada lagi daya ku untuk memperbaikinya.
Siapa bisa mengira, bahwa ceritaku dengannya akan seperti
ini sekarang? Kembali ke titik awal, seperti tak pernah saling kenal. Kembali saling
diam, tak pernah lagi ada sapa. Kami layaknya dua orang asing yang tak sengaja
berpapasan di jalan. Hanya sekilas bersitatap, namun tak ada satu kata pun
terucap. Kami berjalan menuju tujuan masing-masing.
Aku yang begitu pernah berharap bahwa ia akan menjadi rumah
terakhirku, yang akan selalu menjadi tempatku berteduh dari panasnya ujian
hidup, atau tempatku mencari kehangatan dari dinginnya sikap manusia-manusia
tak bersahabat, justru kini menjelma menjadi orang asing yang tak lagi ku kenal!
Aku pernah membayangkan betapa rapuhnya aku jika harus
kembali berjalan sendirian menghadapi kehidupan yang penuh kejutan ini. Aku
pernah merasa dan berpikir, bahwa dia adalah satu-satunya yang mampu menjadi
pegangan untuk membimbing langkahku. Namun nyatanya tidak!
Keadaan kini memaksaku untuk tetap melangkah, berjalan
bahkan berlari kencang meski tanpa dia di sisi. Aku hanya perlu untuk terbiasa
menjalani hari-hari tanpanya. Segala hal yang ku takutkan hanya perlu untuk
dihadapi. Bahkan berulang kali aku mencoba untuk melupakannya pun aku selalu
gagal! Hingga akhirnya aku disadarkan dengan sebuah ucapan, bahwa perihal
melupakan adalah suatu hal yang tidak mungkin bisa ku lakukan. Karena sejatinya,
aku hanya perlu untuk terbiasa. Terbiasa tanpanya. terbiasa untuk tidak
mencarinya. Terbiasa agar tidak mencemaskan keadaannya. Terbiasa untuk tidak
mengingat segala cerita bersamanya. Bahkan mungkin, terbiasa untuk tidak
menyebut namanya dalam barisan doa yang ku bisikkan pada Tuhan.
Aku hanya perlu terbiasa … hidup tanpanya!
Jujur, aku sudah lelah. Dengan keadaan yang seolah menyudutkan ku. Seolah aku penjahat utama atas duka yang tercipta di antara kita. Padahal, aku pun korban dari keadaan yang sering kali tak berpihak pada kita.
Di sela waktu kesendirian, aku bertanya pada keadaan, di manakah cinta yang dulu selalu kau puja? Kapan ku dapati lagi peluk hangat yang menenangkan? Dan Mengapa harus ego diri menjadi pemenang yang menghancurkan ketenangan?
Semua tanya itu hanya menggema dalam pikiran. Mendorong langkah untuk terus berjalan ketepian.
Ya. Ku rasa sudah saatnya aku menepi dari hadapan atau bahkan dari kehidupanmu. Namun, tiap kali langkahku semakin tegap untuk terus menjauh darimu, hati serta pikiranku semakin berperang.
Jika aku pergi, apakah kau akan sebahagia yang aku pikirkan? Apakah penyesalan tak akan datang menghampirimu ataupun aku? Dan jika aku pergi, akankah kamu merasa sepi seperti yang kurasakan saat ini?
Logikaku menjawab tetaplah pergi, karena apapun yang terjadi padamu bukan lagi menjadi urusanku. Tapi hati ku terus berbisik, bertahanlah sebentar, barangkali sebenarnya dirimu masih butuh aku. Meski sangat kecil kemungkinannya.
Namun yang pasti, kemanapun takdir membawa langkah kita, aku hanya bisa berharap, jika tiba waktunya untukku pergi, aku mampu terbiasa tanpamu, dan kamu, mampu mencipta kebahagiaan yang sempurna tanpa ada lagi bayang-bayangku di hidupmu.
Aku, seseorang yang tumbuh dengan cerita masa lalu yang tak menyenangkan, yang berjalan dengan menahan sakit dan perihnya luka yang terus datang bergantian. Melangkah mencari rumah untuk merasakan pulang. Namun tak juga kutemukan.
Tak lelah ku menyeret langkah sendirian. Menjejaki jalan-jalan panjang yang berselimut kelamnya kesunyian. Aku hanya sedang mencari rumah untukku pulang. Untuk mengobati segala luka yang ku simpan dalam diam. Karena rumah yang selalu menyambut dengan hangatnya pelukan saat ku datang, telah terkubur menyatu dengan tanah yang kini menjadi pijakan.
Aku, si manusia dengan segala sakitnya! Menelan beribu kesakitan sendiri. Tanpa tau harus mulai mencari penawarnya dari mana.
Ketika langkah ku mengantarkan pada titik pertemuan denganmu, seketika tercipta harapan terbesarku, yaitu; kau mampu menemaniku menyembuhkan luka-luka yang masih tergores dan basah dalam dada. Karena sungguh, aku butuh teman. Aku butuh kawan untuk menjadikanku kuat dalam proses penyembuhan luka ini. Dan aku ingin kamu yang membantuku agar kuat menjalani setiap proses penyembuhanku.
Ku pikir harapanku akan menjadi nyata! Ternyata tidak! Luka ku justru semakin banyak! Perih yang ku rasa semakin menyakitkan! Salahku memang, harus berharap pada manusia. Terlebih manusia tak berprikemanusiaan sepertimu! Yang hanya bisa menyalahkan, menuding, bahkan menuduhku tanpa ampun! Sedangkan kau tau, betapa hancur dan babak belurnya aku saat ditemukan olehmu nyaris tak berdaya, di persimpangan jalan yang penuh teka teki dan sandiwara kehidupan.
Kau yang ku pikir mampu menjadi rumah, justru hanya menjadi neraka yang baru dalam perjalanan hidupku. Tak ada sedikitpun lukaku yang terobati oleh hadirmu. Yang ada hanyalah luka yang kian terbakar dan sangat menyakitkan!
Tak apa, ya... Jika kali ini ku gagal menjalankan segala peranku. Jika kali ini aku menyerah pada jalan yang ku tapaki. Karena sungguh, kakiku sudah tak sanggup melangkah beriringan denganmu. Luka yang kau tambahkan sudah terlalu banyak. Lebam membiru yang tercipta dalam tubuh kehidupan belum juga memudar. Maka ku tak ingin mencipta lebam yang baru dengan terus bersamamu.
Tak apa, jika kau masih ingin menggunakan topeng wajah polos tak berdosamu. Dan biarkan mereka terus menghakimiku karena hasil dari keegoisan hatimu. Karena mungkin, saat ini aku tercipta sebagai manusia dengan segala sakitnya. Jika aku menanggalkan pakaianku dan meperlihatkan setiap sayatan, lebam, dan luka yang tercipta bahkan melekat pada pakaianku, lalu ku katakan diantara luka-luka ini ada andilmu di dalamnya, mereka pun belum tentu percaya. Maka, diam kembali menjadi pilihanku.
Untukmu, yang sedang sibuk mengejar validasi dan tak henti menggunakan topeng mengibamu, Berbahagialah! Agar segala luka dan kesakitan yang ku tanggung sendirian ini tak berujung sia-sia. Jangan khawatir, ditengah kesakitan yang ku rasakan saat ini, akan ku datangkn kata maaf untukmu. Agar kau tenang dengan hidupmu, dan aku, tenang menikmati segala kesakitan dari luka yang entah kapan akan memudar. Jika ada yng bertanya tentangku, cukuplah kau jawab, bahwa aku hanyalah manusia dengan segala sakitnya!
Pernah terlintas dalam pikiran, kenapa ya? Aku harus ketemu dan kenal sama kamu? Kenapa kamu, seseorang yang awalnya begitu aku benci, sekarang bisa menjadi seseorang nomor satu di hati? Apapun dan bagaimanapun kondisiku, cuma kamu orang pertama yang ingin aku beri tau. Kemanapun aku akan pergi, atau darimanapun aku tiba, selalu kamu yang akan ku beri kabar pertama kali. Entah, segala cerita tentang apa yang aku lalui hanya ingin ku bagi denganmu. Tidak ada yang lain! Bahkan, perihal seseorang dari masa laluku yang tiba-tiba saja hadir kembali, aku pun ingin kamu mengetahui ceritanya.
Setiap respon yang kamu berikan, selalu menjadi perhatianku. Hingga tak jarang, selalu ada tanya, kita ini sebagai apa? Sebenarnya, kamu ini siapa bagiku? Atau siapa aku bagimu? Jika ku sebut kita hanyalah teman, tapi aku merasakan kita lebih dari itu. Jika dikatakan bahwa kita lebih dari teman, tak pernah ada perjanjian atau pernyataan serius baik dari kamu ataupun aku. Namun, entah kenapa selalu ada rasa takut yang tiba-tiba menghantui hatiku. Rasa takut kehilangan kamu, takut kamu jatuh cinta dengan orang lain, takut tiba-tiba kamu pergi dan tak meninggalkan jejak sedikitpun. Intinya, aku takut jika suatu hari nanti kamu bahagia dengan orang lain. Aneh, ya? hhhfff. Aku pun gak ngerti dengan apa yang hadir dalam hati dan pikiran ini.
Kamu ingat? Saat tempo hari kamu bercerita tentang seseorang yang membuatmu begitu merasa kagum, hingga hadir rasa nyaman dalam hatimu, meski hanya menatap orang itu dari jauh. Saat kamu bercerita bagaimana khawatirnya kamu saat hilang kabar dari si dia yang kau kagumi itu. Dan rangkaian cerita lainnya tentang si dia yang kini singgah dalam hatimu. Kamu tau bagaimana perasaanku saat mendengar itu?
Ada perih yang seketika aku rasakan. Ada air mata yang ku sembunyikan. Serta ada rasa takut yang memelukku kian erat! Tapi aku harus sadar diri, bukan? Bahwa kita sedang berjalan di koridor tanpa status. Ya. Kedekatan kita, bahagianya aku saat bersamamu, rinduku saat jauh darimu, khawatirku saat kau tak ada kabar, semua berjalan pada koridor tanpa status. Maka, sudah semestinya aku mempersiapkan hati sejak saat ini, bukan? Jika suatu hari kamu pamit pergi untuk mencipta kebahagiaan yang lebih sempurna bersama dia.
Namun, sebelum kata pamit itu terlontar darimu, aku masih di sini, pada koridor tanpa status yang kita jalani, sambil menunggu kepastian darimu. Dan biarkan aku bahagia dengan kita yang seperti ini, paling tidak untuk saat ini saja.
Aku mungkin hanya orang lain yang tiba-tiba aja ditakdirkan Tuhan untuk bertemu denganmu. Tanpa sengaja dititipkan rasa sayang begitu dalam kepadamu. Lalu, gak pernah ku duga, hari-hariku semakin rame dengan hadirmu. Cinta dan sayang untukku pun semakin berlimpah karena hadirmu. Hingga akhirnya, namamu masuk dalam daftar yang selalu disebut saat ku sedang berdua dengan-Nya.
Kamu, yang kini menjadi seseorang yang begitu berarti dalam hidupku. Aku memang orang asing yang Tuhan pertemukan denganmu. Aku tak pernah tau bagaimana latar belakang kehidupanmu sebelum bertemu denganku. Aku tidak pernah tau bagaimana rekam jejak perjalananmu hingga berada di titik ini. Bahkan, hari ini pun, aku gak tau sudah berapa banyak badai yang kau hadapi, sudah seberat apa beban yang kau pikul hingga detik ini, sudah berapa banyak derasnya air mata yang diam-diam harus kau hapus dank au sembunyikan di balik topengmu yang penuh canda tawa. Aku memang tak pernah tau semua lika liku yang harus kau jalani hingga akhirnya kau bertahan sampai di titik ini.
Yang ku tau, saat kau sudah merasa tidak sanggup, kau akan bicara dan cerita. Di saat kau butuh pegangan, kau akan memanggil. Meski setiap detik aku ada untukmu, aku ada di sisimu.
Hei, aku cuma mau bilang, tolong jangan menyerah, ya. Tolong jangan berputus asa dengan segala ujian yang sedang kau hadapi kali ini. Meski ku tak tau, seberat apa ujian yang kini kau hadapi, tapi aku tau, kau adalah orang yang kuat. Kau adalah orang terpilih untuk bisa menghadapi dan melewati ujian ini. Bukankah Tuhan tak akan memberikan beban ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya? Meski kini kau harus berderai air mata lagi, artinya, kau kuat, kau mampu untuk menghadpinya lagi.
Aku mohon, tolong jangan menyerah, ya. Jangan pula melarangku untuk selalu menyebut namamu dalam barisan doaku. Kau harus tau, aku tak ingin kehilanganmu. Tak akan pernah! Jika salah satu dari kita ada yang harus menghilang dari bumi ini, maka biarkan aku yang lebih dulu menghilang, ya. Karena sungguh, setakut ini aku kehilanganmu. Jadi, sekali lagi ku mohon, jangan menyerah. Teruslah berjuang. Dan ku tau, kau mampu melewati ini semua.
Putaran waktu, telah membawaku pada titik keadaan yang tak pernah aku duga sebelumnya, yaitu kedatangan kamu dalam hidupku. Kamu, orang asing yang tak sengaja ku temui pada dunia maya. Momen perkenalan singkat antara kita, berlanjut dengan keakraban dan kedekatan yang mengundang rasa nyaman. Entah siapa yang memulainya, namun yang aku tau, sejak kehadiranmu aku bisa merasakan kenyamanan serta kebahagiaan yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya.
Hadirmu mencipta bahagiaku kian sempurna. Segala perhatianmu membuat aku merasa betapa berharganya di sisimu. Senyum manis mu yang mampu ku tatap dari kejauhan selalu berhasil menjadi pelipur laraku. Berbagi cerita denganmu menjadi candu bagiku. Hingga diam-diam menyebut namamu di antara senyapnya malam yang menyelimuti menjadi kebiasaanku, ketika sedang bercengkrama dengan Dia yang telah menciptakanmu.
Tanpa ku sadari, rasa nyamanku kini telah berkawan dengan rasa sayang dan juga takut kehilangan. Setiap kali sepi menghampiri, bayang wajah serta senyummu selalu berhasil menjadi pengusirnya. Setiap kali kegundahan menyapa, suaramu mampu menjadi penenangnya. Dan semakin hari, aku semakin candu dengan hadirmu.
Kau tau? Tangan ini rasanya ingin sekali mendekapmu. Ingin sekali aku merengkuhmu, merasakan hangat peluk dan kecupmu pada realita hidup yang ku jalani. Namun ku sadar, kita hanya dekat pada sebatas imaji. Segala rasaku hanya bermain pada dunia ilusi. Karena kita adalah dua jiwa yang terpisah oleh dinding realita. Meski segenap rasa yang hadir ini begitu nyata adanya.
Terkadang ada masa dimana aku ingin sekali melepas segala perasaan yang tertuju padamu, lalu menguburnya dalam-dalam. Namun bayanganmu selalu saja menari dalam benak. Membuatku merasa sesak, ketika membayangkan jika aku harus menghilangkan atau mungkin kehilanganmu. Jika aku harus kembali pada kubang sepi setelah hadirmu meramaikan hari-hari yang ku lalui. Meski ku tau, kau hanya akan hidup pada batas imajiku. Kau memberikan kebahagiaan pada dunia ilusi yang ku cipta. Karena kata bersama untuk kita, tak akan pernah lahir pada dunia realita.
Biarlah, jika aku harus lelah merawat rasa ini sendirian. Jika aku tak mampu berhenti menyayangimu dengan begitu tulus dan hebatnya. Jika sekali waktu aku harus merasakan getar rindu yang menyapa bagaikan badai yang mengacaukan dunia realitaku. Biarlah, jika rasa bahagia, sedih, takut kehilangan, bahkan sakitnya merindu karena hadirmu begitu nyata ku rasakan, dan harus ku tanggung sendirian. Karena akan kubiarkan dirimu terus hidup dan abadi pada batas imaji yang ku cipta dalam dunia ilusi.