Senin, 25 Agustus 2025

Lupa yang Tak Pernah Nyata

8/25/2025 01:35:00 PM 0 Comments

Aku tahu, hidup ini adalah perjalanan siklus dari sebuah pertemuan, perpisahan, tawa, dan juga air mata. Semua pasti akan terjadi. Entah siapa lebih dulu memilih untuk meninggalkan, ataupun ditinggalkan. Sama hal nya dengan kita. Tiba-tiba Tuhan mempertemukan, tapi seketika, keadaan memaksa kita untuk saling melepaskan. 

Aku pikir, aku akan dengan mudah melupakan. Sama seperti ketika waktu dengan mudah mempertemukan, dan aku dengan mudah menyambut kehadiranmu. Nyatanya, melupakanmu ternyata bukan soal peran sang waktu, tapi soal luka yang tak pernah berhenti mencari cara untuk mengingat. Aku selalu mencoba menghapus tentangmu perlahan, menutup bayangmu dari ingatan. Namun yang terjadi adalah setiap langkah untuk menjauh, selalu menyeretku kembali pada jejakmu.

Aku mencoba menyibukkan diri, mengisi hari dengan tawa baru, berjalan di jalan yang tak pernah kita lalui bersama. Tapi tetap saja, bayanganmu selalu hadir di sela-sela senyumku yang paling pura-pura. Segala tentangmu selalu hadir dalam rindu yang paling sunyi, yang ku sembunyikan di balik tirai malam.

Mereka bilang, waktu akan menyembuhkan. Tapi mengapa setiap detik justru membuatku lebih sakit? Mengapa aku merasa semakin jauh dari sembuh? Padahal aku sudah berusaha sekuat itu. Hingga merapalkan namamu dihadapan Tuhan pun sudah hampir ku tiadakan. Tapi kenapa? Kenapa lagi-lagi harus tentang kamu yang membuat gaduh isi kepalaku?

Pada akhirnya, aku tahu seberapa banyak aku berjuang untuk melupa, sebanyak itu pula aku tersiksa.
Dan seberapa banyak cerita baru tercipta, sebanyak itu pula cerita lama melekat— dan menjadi pemenangnya. Aku benci harus mengakuinya, tapi fakta yang ada memang kamu masih jadi alasan dari setiap kosongku. Dan aku masih kalah, dalam peperangan yang seharusnya bisa kumenangkan.

Selasa, 19 Agustus 2025

Sunyi Di Antara Aku dan Dia

8/19/2025 02:18:00 PM 0 Comments


Aku tak tahu sejak kapan jarak ini tumbuh tanpa bisa kutahan.
Mungkin sejak kata-kata berhenti mencari telinga, dan rindu berhenti menemukan tempat pulang.
Mungkin sejak matanya tak lagi menatap dengan rasa, hanya dengan sekilas yang hambar.
Sejak saat itu, aku seperti hidup di dunia yang sama, tapi di ruang yang berbeda.

Ada aku, dengan segenggam rindu yang terus berdegup.
Ada dia, dengan segenggam alasan yang tak pernah ingin ia ceritakan.
Dan di antara kami, ada sunyi.
Sunyi yang lebih bising daripada keramaian.
Sunyi yang menggigit lebih dalam daripada dingin malam.

Aku benci sunyi ini.
Aku benci bagaimana aku masih terus menaruh harap,
sementara dia seperti sengaja meluruhkan setiap detik bersamaku menjadi abu.
Aku benci menatap layar ponsel yang kosong dari kabarnya,
padahal dulu ia pernah menjadi suara yang paling kurindukan.
Kini, ia hanya bayang samar yang berdiri di kejauhan,
membiarkan aku menunggu sesuatu yang tak lagi ingin ia beri.

Kadang aku bertanya,
apa salahku hingga hangatnya berubah jadi beku?
Kenapa aku masih berusaha menyulam kembali,
sementara dia perlahan merobek setiap benang yang kupintal?

Aku ingin membencinya, benar-benar membenci.
Tapi bagaimana bisa?
Jika setiap bayangannya masih menetap di dalam mataku.
Jika setiap kenangan tentangnya masih menempel di napasku.
Jika setiap luka yang ia torehkan justru semakin menegaskan betapa aku masih mencintainya.

Dan setiap kali aku mencoba pergi, ada sesuatu yang menahanku—
seolah hatiku sendiri menjadi penjara yang kuncinya ia simpan.
Sunyi di antara aku dan dia bukan sekadar jeda,
ia adalah dinding tinggi yang tak bisa kutembus.
Aku mengetuk, tapi dia tak pernah menjawab.
Aku menunggu, tapi dia tak pernah kembali.

Yang paling menakutkan adalah…
barangkali dia memang sudah benar-benar pergi,
sementara aku masih berdiri di tempat yang sama,
terikat oleh janji yang hanya aku anggap suci.

Mungkin, di antara aku dan dia,
yang benar-benar tinggal hanyalah sunyi.
Sunyi yang menolak pergi,
bahkan saat aku sudah tak punya tenaga lagi untuk bertahan.

Kamis, 07 Agustus 2025

Merasa Cukup

8/07/2025 11:07:00 AM 1 Comments

Apakah aku tak cukup bagimu? Setelah aku mendampingi mu waktu ke waktu. Memelukmu demi bangkit kembali dari satu masalah ke masalah baru. Apakah aku tak cukup? Apakah yang ku curahkan masih jauh dari kata cukup?

Aku hanya ingin merasa menjadi seseorang yang cukup untuk orang lain, terutama untukmu. Ya. Aku ingin hadirku cukup membuatmu tenang. Cukup membuatmu bahagia. Cukup memberikan alasan untukmu merasa harus semangat dan hidup lagi setiap harinya. Aku ingin hadirku cukup untuk kamu menemukan alasan bahwa duniamu akan selalu baik-baik saja.

Namun realitanya tidak! Aku tidak pernah cukup untuk kamu yang selalu mencari sempurna.

Setiap usahaku terasa seperti tetesan air di samudra tak bertepi. Aku berikan waktu, kasih, dan kekuatan, tapi matamu selalu mencari sesuatu yang lebih, sesuatu yang tak pernah kumiliki. Aku berdiri di tepi harapan, menatapmu yang terus berlari mengejar bayangan sempurna itu, meninggalkanku dengan pertanyaan yang menggantung. Apakah cinta yang kuberikan tak cukup manis? Apakah pelukan yang kuberikan tak cukup hangat?

Aku pernah menangis di malam yang sunyi, merasa kecil di bawah beban “tidak cukup” yang kau letakkan di pundakku. Tapi di tengah air mata itu, ada percikan cahaya—suara kecil dalam diriku yang mulai berani bicara. “Mengapa aku harus membuktikan cukup untuk seseorang yang tak melihat usahaku?”

Aku memilih mundur selangkah, memberi ruang untuk diriku sendiri. Aku belajar mendengarkan detak jantungku yang berbisik, “Kau sudah cukup, bahkan jika dia tak melihatnya.” Aku mulai menuai ketenangan dari dalam, dari setiap napas yang kuhirup di pagi hari, dari setiap senyum yang kujaga untuk diriku sendiri.

Kini, aku tak lagi memohon untuk dianggap cukup olehmu. Aku cukup untuk diriku sendiri. Cukup untuk bangkit setiap kali jatuh, cukup untuk mencintai hidup ini dengan caraku. Dan suatu hari, aku harap, aku akan menemukan seseorang yang melihat “cukup” itu—bukan sempurna, tetapi cukup—seperti yang kuperjuangkan untukmu dulu.

Selasa, 05 Agustus 2025

Perlahan Kembali Pulang

8/05/2025 11:11:00 AM 0 Comments



Aku ingin pulang. Pulang pada damai yang benar-benar aku impikan. Pulang pada diriku yang telah lama ku hilangkan. Aku telah terlalu jauh melangkah pada apa yang tak seharusnya. Menorehkan tinta hitam di setiap langkahnya, menorehkan garis pekat pada kanvas suci kehidupan yang seharusnya aku jaga. Terlalu banyak noda yang ku biarkan merusak keindahan hari yang semestinya mampu mendatangkan bahagia lebih dari yang sekadar ku ingin.

Aku ingin pulang. Pulang pada tenang yang mengabadikan bahagia di setiap detaknya. Pulang pada hatiku yang penuh kelembutan dan kasih sayang tanpa terkotori hal apapun. Aku telah terlalu lama membiarkan hati ini bermain pada tempat yang tak semestinya.

Langkahku terhenti di ujung jalan yang asing. Di sekitarku, dunia berputar dengan hingar bingar yang memekakkan. Suara-suara itu—tuntutan, harapan, dan bisikan dunia yang memaksaku menjadi seseorang yang bukan aku—menggema, mengikatku pada peran yang ku mainkan dengan terpaksa. Aku telah lama mengenakan topeng, tersenyum di baliknya, berbicara dengan kata-kata yang bukan milikku, dan berjalan di jalur yang ditentukan orang lain. Topeng itu kini terasa berat, menekan wajahku hingga napasku tersengal, hingga aku lupa bagaimana rasanya bernapas dengan bebas.

Di malam yang sunyi, ketika dunia akhirnya terdiam, aku duduk di sudut ruang yang kelam, menatap bayanganku di cermin. Wajah itu... apakah itu aku? Matanya lelah, penuh keraguan, penuh penyesalan. Aku mencoba mencari diriku yang dulu—seseorang yang tertawa tanpa beban, yang bermimpi dengan penuh harap, yang mencintai dunia dengan hati terbuka, yang selalu berjalan pada koridor yang semestinya. Tapi bayangan itu hanya menatapku kosong, seolah berkata, “Kau telah pergi terlalu jauh.”

Namun, di dalam dada, ada sesuatu yang masih berdenyut pelan. Sekecil apa pun, itu adalah sisa-sisa diriku yang lama, berbisik lirih, memanggilku untuk kembali. Aku ingin mendengarnya. Aku ingin memeluknya. Aku ingin pulang.

Aku mulai melepaskan satu per satu beban yang ku genggam erat. Harapan orang lain, mimpi yang bukan milikku, harapan untuk memiliki apa yang tak semestinya, dan rasa takut akan penilaian dunia—aku letakkan mereka di tepi jalan. Aku berjalan perlahan, menelusuri jejak-jejak yang dulu ku tinggalkan. 

Setiap langkah membawaku lebih dekat pada diriku yang sejati. Aku belajar mendengar lagi—bukan suara dunia, tetapi suara hatiku. Aku belajar melihat lagi—bukan apa yang diinginkan orang lain, tetapi apa yang membuat jiwaku hidup. Aku belajar merasakan lagi—bukan luka yang ku ciptakan sendiri, tetapi damai yang selalu ada di dalam diriku, menanti untuk ku temukan.

Aku belum sampai. Mungkin perjalanan ini masih panjang. Tapi aku tahu, di ujung sana, ada rumah. Rumah yang terbuat dari kejujuran, dari keberanian untuk menjadi diriku sendiri, dari cinta yang tulus pada hidup ini. Aku ingin pulang. Dan kali ini, perlahan langkahku membawa kembali pulang. Pada diriku. Pada hidup yang ku pilih dengan hati. Perlahan aku kembali pulang, pada tenang yang melahirkan kebahagiaan paripurna.