Selasa, 18 Februari 2025

Bersinar Tanpa Harapan

2/18/2025 01:46:00 PM 0 Comments

 


Katamu, jangan mencintai orang yang tidak mencintai balik. Karena itu sama saja kita telah menciptakan patah hatinya kita sendiri. Seperti kita menciptakan cinta seluas angkasa, tapi kelak akan merasakan luka sedalam samudra.

Tapi, pertanyaanku bukankah kita pernah saling mencintai? Jika pada akhirnya rasa itu kini telah hilang dari hatimu, aku tak peduli! Karena sejak awal aku tahu, di titik mana rasa ini akan berhenti. Di batas apa ia akan menetap atau menghilang.

Mungkin aku tak pernah memilih untuk jatuh cinta kepadamu. Aku tak pernah bisa memilih keadaan seperti apa yang ingin ku hadapi di hari esok. Tapi aku bisa memilih bagaimana aku menyikapi setiap rasa yang hadir dan tercipta secara tiba-tiba. Termasuk perihal rasa cinta dan sayangku untukmu. Jika kamu memilih untuk berhenti, pergi menjauh, lalu menghilang, dan mengubur segala rasa yang tertuju padaku. Maka, aku memilih untuk berhenti mencintaimu, dan memelihara rasa sayangku untukmu. Meskipun rasa sayang itu hanya mampu ku alirkan lewat bisikan permohonan kepada Sang Maha pelindung yang menggenggam jiwa ragamu.

Jika pada akhirnya kau memilih untuk tak pernah melihat dan menganggapku ada, membiarkan aku terus meringis kesakitan karena terus menerus dihujam kerinduan, sambil memikul rasa sayang untukmu, maka aku di sini memilih untuk menikmati kesakitan ini setiap harinya. Sendirian! 

Mungkin terlihat bodoh, tapi beginilah aku dengan kebodohannya. Itu mengapa, hal yang paling ku takutkan sebenarnya adalah perihal jatuh cinta! Sialnya, kamu berhasil membuatku jatuh cinta!

Meskipun kali ini, akan aku biarkan kamu dengan pilihanmu. Bersamanya, seperti sepasang rembulan dan bintang di malam terang. Indah, menyinari semesta dengan kemerlip dan terangnya cahayamu. Membuat malam yang sunyi menjadi kian syahdu dengan pendarmu yang menembus ke bumi.

Dan aku, akan seperti katamu, menjadi matahari yang tetap bersinar meski sendirian. Menatapmu sebagai rembulan dari kejauhan. Aku tidak akan menuntut apapun darimu, pun tak akan iri pada gugusan gemintang yang menemanimu. Bahkan aku tak lagi mengharap satu sentuhan, atau mungkin segaris cahayamu. Aku akan tetap menjadi matahari yang bersinar sendirian. Meski sendiri, ingatlah bahwa pada akhirnya matahari akan selalu menjadi sumber cahaya pada yang lainnya. Meski cahayaku terhalang kabut tebal, namun cahayaku masih bisa terlihat juga dirasakan. 

Harusnya pertemuan kita yang disebut gerhana menjadi sebuah kisah yang manis bukan seperti cerita orang-orang akan menjadi menakutkan, tapi pijarku redup menjadi abu abu. 

Pada akhirnya, cerita kita sudah berakhir, dengan cara kita masing-masing. Biarlah aku, tetap menjadi matahari yang berada diantara bulan, gugusan bintang juga planet lain yang terlihat namun tidak mendekat.

Meskipun akhir dari cerita tentang kita harus melahirkan luka yang tak akan hilang, namun aku belajar untuk menerima. Bahwa tak semua yang kita cintai harus kita miliki. Bahwa tak semua perjalanan kisah cinta harus berakhir dengan kebersamaan.

Aku akan tetap menjadi matahari yang setia menyinari semesta, meskipun hatiku terkulai lelah. Aku memilih untuk tetap bersinar dalam kesunyian, dan akan terus mengalirkan rasa sayangku lewat bisikan yang hanya bisa didengar oleh angin. Mengirimkan rasa cinta lewat cara yang tak tampak. Karena mungkin aku hanya ditakdirkan untuk mencintaimu dari kejauhan. Tanpa sentuhan, atau bahkan sekadar saling pandang.

Dan ketika waktunya tiba, aku harus menyaksikan kamu jauh lebih bahagia tanpa aku, aku akan tetap di sini. Sebagai matahari yang tak pernah berhenti menyinari dunia, meski tak ada yang memandangku, meski aku tak pernah benar-benar dianggap ada, meski kehadiranku hanya terasa sesaat. Aku akan selalu ada, meski tak benar-benar terlihat. Seperti matahari yang terbenam, namun tak pernah benar-benar hilang dari langit. Karena pendar cahayaku ada di antara rembulan dan gugusan gemintang.

 Aku, yang mencintaimu dalam senyap, akan terus hidup di antara cahaya dan bayang-bayang yang tak pernah bisa bersatu.

Minggu, 09 Februari 2025

Perayaan Rasa Rindu

2/09/2025 04:17:00 PM 0 Comments

 

Sudah ribuan langkah ku ayunkan semenjak perginya. Berjalan sendirian dengan membawa rasa yang masih sangat utuh.

Mencoba tak limbung di setiap langkahnya, tapi ternyata sudah beberapa kali ku terjatuh, merasakan sakit dan meringis menahan perih. 

Mencoba untuk selalu tersenyum dan terlihat menjadi manusia paling bahagia, nyatanya entah sudah berapa banyak rintik air mata menghujani wajah yang ku biarkan mengering dengan sendirinya.


Aku mengira, perginya bukanlah suatu masalah besar yang harus ku hadapi dalam perjalananku mengarungi kehidupan ini. 

Aku pikir, pamitnya akan membawa serta rasa yang pernah ia titipkan sementara waktu pada sudut relung kalbu. Nyatanya, apa yang telah ia titipkan kini menjadi beban yang begitu berat dan harus ku pikul setiap waktu. Karena, hati dan logikaku bukan lagi berdialog soal cinta yang pernah ia titipkan. Karena hati dan logika kini pun menanggung beratnya rindu yang selalu menggema tanpa jeda.

Sejak perpisahan dengannya, malam sunyi menjadi kawan setia yang menenamiku menghadiri perayaan rasa rindu.

Menyaksikan setiap memory yang terputar berulang kali. Memandang setiap potret dirinya yang tersusun rapih dalam galery dengan mata yang berkaca menahan agar bulirnya tak pecah dan membasahi wajah. 

Mendengar rekam suaranya yang berkali-kali ku putar bak melodi syahdu di sepinya malam diiringi segaris senyum serta linangan air mata perih kerinduan. 

Di setiap tanggal yang sama, aku menghitung sudah berapa ratus hari ku lewati tanpanya. Sudah berapa ratus kali ku merayakan rasa rindu untuknya.

Tanpa ku bertanya, kapan aku harus menyerah dan berhenti untuk menghadiri perayaan rasa rindu ini. 

Karena pertanyaan yang selalu berlalu lalang dalam benakku adalah;

Mengapa harus dia pemenang dari segala rasa yang tercipta? 

Mengapa aku harus berhenti pada momen perayaan rasa rindu hanya untuknya?

Dan, mengapa malam-malam ku harus selalu ramai dengan cerita perayaan rasa rindu berteman potret dirinya?

Hei, Tuan. Sejujurnya aku lelah harus menghadiri perayaan rasa rindu untukmu di setiap malamku. Tapi... mau bagaimana lagi?

Perayaan rasa rindu untukmu seolah menjadi ritual malamku sebelum aku melepas penatnya sandiwara kehidupan yang harus ku lakoni. 

Selasa, 04 Februari 2025

Luka Yang Kudekap Dalam Doa

2/04/2025 05:32:00 PM 0 Comments


Dari sekian banyak pasang mata yang menatap, sekian banyak senyuman yang menyapa, dan dari sekian banyak yang datang sekadar singgah, entah kenapa hatiku merasa terpikat padanya.

Sejak awal dia datang, aku tahu, mestinya tak ku sambut ia dengan hangat. Mestinya, tak ku bukakan pintu untuknya berlama-lama dalam bilik hatiku yang sedang merasa hampa. Karena ku tau, jika ia ku biarkan terlalu lama, akan datang rasa nyaman memeluk dirinya dan juga aku.

Setiap kali aku ingin berhenti menyapanya, ingin pergi menjauh darinya, ingin mengatakan padanya "keluarlah dari bilik hatiku" aku seolah ditarik oleh magnet yang berada pada setiap celoteh, tawa dan senyumannya. Yang terus menarik hatiku untuk ingin selalu bisa bersamanya.

Logikaku berkata, ini salah!! Ini tak boleh aku biarkan berlarut. logika ku selalu berteriak dengan lantang untuk berhenti pada permainan rasa yang sedang dimainkan olehku dan juga dirinya.

Tapi hati kecilku menolak. Karena selalu ada bunga bermekaran dalam dinding hatiku yang mulai terisi oleh namanya. Bunga-bunga itu semakin mekar, indah menyejukkan hati ketika dengan lugas ia mengirimkan sebuah kalimat "ana uhibbuki..."

 Mestinya, aroma bahagia dan cinta yang berembus dari hati kecilku mampu membuat aku dan dia bertahan dan berjuang untuk bersama.

Tapi, lagi-lagi logika mengalahkan suara hati kecil ku! mungkin juga, logikanya telah mematikan suara hati kecilnya!

Harapku, hadirnya mampu meramaikan kembali hati kecilku yang mulai terasa sepi dan hampa selama ini. Inginku, hadirnya menjadi bunga kebahagiaan yang terus tumbuh terpelihara dari hati kecilku yang mulai memahat namanya begitu indah dan dalam. Mau ku, melangkah menyusuri sisa perjalanan hidup ini bersamanya hingga duniaku atau dunianya berakhir pada waktunya. Dan khayalku, mampu menuliskan takdir tentang aku bersamanya sesuai apa yang kita inginkan.

Tapi ternyata, yang harus dihadapi adalah menyadari bahwa dia tidak akan pernah menetap. Bahwa dia hanya singgah meski telah memberikan cerita serta kesan yang terpahat begitu indah dalam sudut memori dan hati kecil terdalam. Ternyata, ia datang bukan sebagai sumber bahagiaku selamanya hingga akhir. 

Karena ternyata dia adalah luka yang tak pernah kuduga datangnya, ia adalah luka yang ku jaga dan ku pelihara. Meski ku tau, aku akan sakit mempertahankan namanya selalu ada dalam hati kecilku, atau selalu ku sebut dalam setiap doaku. Karena ternyata dia adalah luka yang sengaja ku dekap meski lirih, dan tak bisa ku lepaskan begitu saja untuk pergi. Meski ku tau, dia tak akan selangkahpun kembali kepadaku. Karena ternyata, dia adalah luka yang selalu ku biarkan bertahan adanya. Meski ku tau, ia hanya akan menganggapku angin lalu. 

Karena tentangnya, sudah terukir begitu dalam, di sudut hati kecilku, di dalam memori terindahku. Biarkanlah, ia selamanya menjadi luka yang ku dekap dalam doa. Meski sakit, tapi aku bahagia karena ia selalu ada.

Sabtu, 01 Februari 2025

Masih Kamu Pemenangnya

2/01/2025 02:14:00 PM 1 Comments


Pertemuan kita terlalu cepat dan singkat. Namun entah kenapa, rasa yang tercipta dan tertinggal begitu melekat dengan sangat hebat. 
Aku mengira setelah kata sepakat untuk kita mengakhiri apa yang kita rasa, berhenti mengharapkan segala yang tak mungkin untuk menjadi mungkin, semua akan kembali seperti semula. Seperti saat aku belum mengenalmu. 
Aku berpikir, bahwa rasa yang telah kita cipta pun akan ikut berakhir. Namun nyatanya tidak!
Setelah kita sepakat untuk saling melepaskan, berdamai dengan keadaan, ku biarkan kau berkelana mencari siapa yang mampu membuatmu bahagia dengan begitu paripurna. Ku persilahkan kau singgah dan menetap di hati siapa saja yang kau ingikan. Asal kau bahagia, begitu pikirku.
Lalu aku? 
Aku tetap berjalan, berusaha menjauh darimu, menjauh dari bayang-bayang tentangmu. Aku pun berkelana, mencari bahagia yang ku inginkan. Mencari kata bahagia dengan level yang setara saat aku bersamamu. Aku mencari penggantimu, mungkin dari wajah yang serupa, atau suara yang sama, atau bahkan mungkin dari kebiasaaan, hobi, dan segala kesukaanmu yang persis seperti mu. Tapi aku tidak pernah menemukannya. Dan tentu tidak akan pernah menemukannya!
 Ya. Bodohnya aku, karena aku mencarimu di orang lain.
Dari sekian banyak yang datang bertamu, tak juga ku temukan seseorang sepertimu. Mereka yang datang dan singgah sementara waktu hanya ingin memberi tahuku, bahwa tak ada seorangpun yang memiliki ketulusan rasa seperti yang kau bawa. Atau mungkin mereka membawa ketulusan rasa itu, namun hatiku sudah terkunci rapat hanya karena satu nama yaitu, kamu!
Hingga akhirnya aku tersadar, aku tak pernah benar-benar bisa menjauh darimu. Aku tak pernah benar-benar bisa melepaskanmu. Aku bahkan tak pernah ingin kita menjadi seperti semula, saat kita belum mengenal atau hanya baru sekadar bertegur sapa. Aku tersadar bahwa sampai kapanpun aku tak ingin menjadi orang lain lagi di matamu. Dan aku pun tak mengingkan kamu terlihat layaknya orang yang tak pernah ku kenal sama sekali dalam hidupku. Aku ingin kita tetap saling menjaga, mesti tak harus saling memiliki. Kita tetap saling mendekap, meski hanya dengan lewat barisan doa.
Karena ternyata, dari segala apa yang ku rasakan, dari siapapun yang datang dan mencoba merebut hatiku, dari sekian banyak yang ku perjuangkan dan ku harapkan, ternyata masih kamu lah pemenangnya. Ternyata masih kamu yang menduduki tahta tertinggi rasa sayangku. Masih kamu yang menjadi pemenang dalam hal mencuri rasa dan hatiku. Ya. Masih kamu pemenangnya.