Minggu, 26 Januari 2025

Seiring Waktu Berjalan

1/26/2025 11:49:00 PM 0 Comments



Seiring waktu yang berjalan, aku bertanya dalam diam, apa yang sebenarnya ia rasa untukku? Sekedar kagumkah? Atau memang percikan cinta itu ada di hatinya? Apakah dia merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan untuknya?

Rasa ini, berbalas atau hanya bertepuk sebelah tangan?

Entah… .

Hanya dia dan Tuhan yang tau, kan?

Sedangkan yang aku tau, seiring waktu berjalan, rasa yang ku punya semakin melekat erat!

Aku tau ini salah. Dan ini adalah kebodohan paling nyata yang ku pilih dalam perjalanan hidup ini. Tapi apalah daya, untuk benar-benar melepasnya aku tak kuasa!

Segila ini rasa yang ku punya untuknya!

Sebodoh ini aku membiarkan segala perasaan untuknya berkecamuk dalam dada!

Lelah! Tapi ku menyukainya…

Sakit!! Tapi aku menikmatinya..

Seiring berjalannya waktu, doa yang ku rapalkan berubah susunan kalimat permohonannya. Tak ada lagi paksaan. Yang ada adalah aku pasrah pada kehendak-Nya. Akan dibawa sampai ke titik mana segala rasa yang ku simpan ini.

Berujung bahagiakah? Atau akan berakhir mencipta luka yang lebih dalam sayatannya

Namun yang pasti, namanya tidak akan pernah terlewat kusebut dalam doa..

Seiring waktu yang berjalan, aku biarkan semesta yang menjawabnya. Menyatukan atau memisahkan. Menjadikan saling atau membiarkan kembali asing

Seiring waktu berjalan, semua akan menemukan titik akhirnya. Entah bahagia, atau justru berakhir nestapa. 


 

Rabu, 22 Januari 2025

Sabar yang Bagaimana Lagi

1/22/2025 10:26:00 AM 0 Comments

Sebenarnya, sabar versi apa yang harus aku punya untuk sebuah kata tunggu yang selalu kau pinta?

Sabar tingkat apa yang harus ku jejaki untuk sebuah kata “sebentar lagi” yang selalu kau bisikkan padaku?

Setiap kali aku meminta sedikit waktu untuk kita, kamu hanya menjawab dengan kalimat,”sabar,ya. Tunggu sebentar lagi.”

Lantas, sabar dan tunggu sebentar lagi yang bagaimana lagi yang harus ku miliki? Ketika di hari yang mestinya kamu libur dan ada untukku, kamu pun memilih menyibukkan diri. 

Apa yang sebenarnya sedang kamu perjuangkan? Hingga meminta sedikit waktumu saja rasanya sulit.

Sabar yang seperti apa lagi yang harus ku bangun setiap harinya. Di saat kamu bersikap tak peduli ketika aku hanya meminta sebagian kecil dari waktu yang kau habiskan untuk pekerjaaanmu, dunia sosialmu, ataupun juga hobimu. Saat kamu bersikap seolah meniadakan keberadaanku, aku diam. Mencoba untuk tidak memaksa apalagi merengek manja agar kamu menuruti mauku.

Bantu terangkan padaku, sabar yang bagaimana lagi yang harus ku pelihara untuk membuat hubungan ini tetap terasa baik-baik saja. Sedangkan sikapmu membuatku bertanya ragu, masih adakah cinta itu? Cinta yang dulu pernah kita agungkan bersama. Cinta yang mebuat kita merasa betapa dunia ku hanya kamu, pun sebaliknya, bahwa duniamu adalah aku. 

Kau tau? Aku hanya sedang rindu.

Rindu bersama denganmu. Rindu menghabiskan waktu berdua denganmu. Rindu segala tawa yang pernah kita cipta tanpa terhitung banyaknya.

Sekarang, mengapa harus selalu kalimat “Sabar, yaa..."

Sabar yang seperti apa lagi, Tuan?

Sedangkan di sini, tanpa kau tau, aku bersama setianya kata sabar selalu menunggumu. Meski aku harus belajar berkawan dengan air mata di tengah sepinya malam, hanya untuk membunuh rasa rinduku yang tak kunjung berhenti memanggil namamu.

Dalam tujuh hari, begitu sulitkah kamu menyisakan waktu meski hanya setengah jam lamanya?

Harus sampai kapan aku berjuang untuk memahamimu, sambil terus dipeluk oleh kata sabar?

Sabar yang bagaimana lagi yang harus ku pelihara, Tuan? Agar hatiku tak lagi berat menerima kamu yang lebih mencintai kesibukkanmu daripada mencintaiku.

Sabar yang bagaimana lagi yang harus ku genggam sebagai penguat untukku tetap berpijak pada hubungan ini. Tolong, beritahu ku, Sabar yang bagaimana lagi yang harus ku peluk sampai aku menemui kamu yang dulu begitu bahagia saat bersamaku. 

 

Selasa, 21 Januari 2025

Dua Mata Air

1/21/2025 12:56:00 PM 0 Comments

Aku, sebuah gelas kristal, berdiri di antara dua sumber yang bermuara pada rindu. Yang satu, airnya bening bagai sepi menyusup sunyi, murni tanpa dusta, dingin namun meneduhkan. Yang lain, derasnya gemuruh, menyala bagai api yang menari di dalam cairan membakar namun memeluk. Kedua mata air itu melintas jauh, namun menemukan muaranya padaku.


Air pertama mengisi setengah ruangku dengan kepastian. Rasanya seperti embun yang jatuh pada dedaunan pagi tak pernah bertanya, hanya hadir dan menggenapi. Tapi air kedua, oh, ia adalah badai yang menjelma tetes. Rasanya asing, namun dalam ketidaktahuannya, aku menjadi candu.


Kini tubuhku penuh, dua rasa saling bertaut, bertabrak, tetapi tak menyatu. Aku gelas yang rapuh, terancam retak oleh berat paradoks ini. Kadang aku merasa ada retakan halus di pinggirku, sebuah peringatan bahwa cinta yang membelah tidak pernah berakhir tanpa luka.


Tetapi, apakah salah mencintai dua rasa yang tak sama? Yang satu memberiku kedamaian, yang lain memberiku hidup. Aku tidak memilih untuk menjadi gelas di antara mereka; aku hanya menjadi wadah bagi keberadaan mereka.


Mungkin suatu hari salah satu akan mengering, dan aku, gelas ini, akan lebih ringan. Atau mungkin aku akan pecah, dan dua air itu akan kembali ke asalnya, membawa sebagian kecil diriku dalam setiap alirannya.


Namun, sebelum saat itu tiba, aku hanya ingin meneguk keberadaan ini. Aku ingin menjadi saksi bahwa tidak semua yang berbeda harus saling menghapus. Kadang, mereka hanya butuh ruang untuk mengisi, meski hanya untuk sesaat.

~~Created By: Opet~~

Rabu, 15 Januari 2025

Jejak yang Tertinggal

1/15/2025 09:37:00 PM 0 Comments

 


~~Created By: Opet~~

Ada luka kecil yang kusembunyikan di lipatan waktu, bukan untuk kulupakan, tetapi untuk kucintai diam diam. Ia bukan bara yang ingin kupadamkan, melainkan api kecil yang menyalakan diriku, mengingatkanku pada perjalanan yang tak selalu lurus, tapi penuh makna.


Kesalahan ini, ia bukan duri yang ingin kucabut. Ia adalah akar yang mencengkeram tanah hatiku, membuatku tetap berdiri meski badai memaksa tumbang. Dalam salahnya, aku belajar mencintai ketidaksempurnaan, seperti malam mencintai gelapnya, tanpa ingin mengubahnya menjadi terang.


Aku tahu, ia melukai. Aku tahu, ia menyakitkan. Tapi bagaimana mungkin aku membencinya, ketika dari setiap goresannya aku menemukan diriku? Ia adalah cermin yang memantulkan sisi rapuhku, mengajarkanku untuk tidak melawan, tetapi merangkul.


Kesalahan yang kucintai ini adalah puisi tak berjudul, sajak tanpa rima. Dunia mungkin menyebutnya cacat, tapi bagiku, ia adalah seni. Di dalamnya ada keberanian, ada kejujuran, ada aku yang sepenuhnya hidup.


Bukan untuk diperbaiki ia hadir, tetapi untuk diterima. Kesalahan ini, dengan segala kelirunya, adalah rumah tempat aku kembali. Di dalamnya, aku belajar bahwa mencintai bukan soal mencari yang sempurna, melainkan menerima yang pecah dengan hati yang utuh.


Jadi biarlah ia tetap ada, mengalir di darahku, berdetak di nadiku. Kesalahan yang kucintai, bukan karena aku tak bisa melepasnya, tetapi karena tanpanya, aku tak akan pernah tahu arti menjadi manusia.


Kamis, 09 Januari 2025

Lelucon Kehidupan

1/09/2025 12:11:00 AM 0 Comments


Kenapa kehidupan ini bercandanya sering banget keterlaluan? Misalnya, mengirimkan sepaket rindu padahal belum pernah ada temu. Menghadirkan rasa kasih sayang penuh cinta, padahal cerita tentang kebersamaannya baru ada di awal kisah. Atau, melahirkan rasa takut kehilangan, padahal memilikinya aja, belum.

Kenapa lelucon kehidupan ini sering kali menghadirkan tawa dibalik tangis menahan perih yang begitu menggigit? Dan kenapa kamu harus hadir menjadi bagian dari candanya kehidupan yang bagiku sama sekali tidak lucu!

Kali ini, bolehkah aku mencaci sang waktu? Yang telah membawa mu masuk terlalu dalam dan jauh di hidupku. Yang tanpa lelah membuatku untuk terus mengenal dan belajar perihal dirimu.

Kali ini, bolehkah ku teriakan amarah pada sang waktu? yang telah begitu kejam menghadirkan mu dalam detak nadi kehidupanku. Entah untuk sebuah kabar bahagia, ataukah justru menjadi duka yang begitu nestapa nantinya.

Mungkin bagimu, aku adalah seseorang yang begitu berarti dan selalu kau inginkan ada dalam setiap cerita kehidupanmu saat ini, bahkan hingga kelak di masa depanmu. Sepenting itu aku bagimu. Begitu menurut pengakuanmu, bukan?

Ketika saat itu kau bertanya, sepenting apa kamu dalam hidupku, maka jawabannya adalah cukup kau lihat sebahagia apa aku saat bersamamu. Bagaimana aku bisa menjadi diriku sendiri di kala aku berada di dekatmu. Bagaimana aku membiarkanmu melihat aku dari berbagai sisi yang tak semua orang memiliki keberuntungan sepertimu. Bahkan di saat banyak orang memandangku sebagai manusia yang memiliki sedikit cacat keburukan, justru kamu yang paling tahu sekacau apa aku sebenarnya.

Meski kau menjadi salah satu orang yang beruntung untuk bisa melihatku dari berbagai sisi yang kau mau, menyedihkannya, kau hanyalah bagian dari impian yang tak akan pernah bisa ku wujudkan menjadi nyata. Namamu hanya akan berhenti pada catatan impian seorang aku yang tak mampu ku gapai. Kamu adalah tawa yang ku dambakan di antara kesedihanku. Kau adalah kisah yang ingin aku tulis ulang dengan akhir bahagia.

Namun, hidup tak selalu memberi pilihan. Kau adalah candaan waktu yang paling aku percayai. Aku tahu, sebagaimana semua candaan, ini hanya selingan sebelum segalanya menjadi nyata—nyata bahwa kita tak pernah benar-benar saling memiliki.

Meski kamu dekat, tapi kamu tak akan pernah bisa untuk ku dekap. Meski kita memiliki satu rasa yang sama, tapi kita tidak akan pernah bertemu pada satu kata hidup bersama. Dan Meski begitu tinggi harapan untuk bisa saling memiliki, pada nyatanya cerita kita hanya akan selalu tersimpan dalam hati.

Kelak, jika perpisahan menjadi pengiring kisah ini, aku harap kita bisa melewatinya tanpa ada sesal. Jika tawa adalah ujung dari tangis, maka biarlah kisah kita berakhir dengan senyum—meski tak lagi bersama. Karena bagiku, candaan kehidupan ini mungkin saja penuh luka, tapi hadirmu adalah satu lelucon yang selalu mencipta bahagia.

Maka, belajarlah menertawakan sebuah kata perpisahan. Ketika kamu atau aku harus bertemu dengan keadaan itu, kita bisa bersahabat dengan tawa, bukan dengan air mata.

Karena memang, candaan kehidupan ini sering kali di luar dugaan bukan?

 ~~~~~

sound