Berdamai Dengan Kenyataan
Amarahku sudah mereda sejak lama. Bahkan saat namamu ku dengar disebut oleh siapapun, aku tak lagi merasakan getar amarah dan kebencian yang sempat memelukku dengan begitu hebatnya.
Siapa kira, jika dia yang dulu pernah membuatku merasa betapa indahnya rasa jatuh cinta, kini mencipta kehancuranku yang begitu paripurna? Cermin cinta yang ku punya dan ku jaga dengan begitu baiknya, dijatuhkan hingga hancur berkeping. Hingga akhirnya tak ada lagi daya ku untuk memperbaikinya.
Siapa bisa mengira, bahwa ceritaku dengannya akan seperti
ini sekarang? Kembali ke titik awal, seperti tak pernah saling kenal. Kembali saling
diam, tak pernah lagi ada sapa. Kami layaknya dua orang asing yang tak sengaja
berpapasan di jalan. Hanya sekilas bersitatap, namun tak ada satu kata pun
terucap. Kami berjalan menuju tujuan masing-masing.
Aku yang begitu pernah berharap bahwa ia akan menjadi rumah
terakhirku, yang akan selalu menjadi tempatku berteduh dari panasnya ujian
hidup, atau tempatku mencari kehangatan dari dinginnya sikap manusia-manusia
tak bersahabat, justru kini menjelma menjadi orang asing yang tak lagi ku kenal!
Aku pernah membayangkan betapa rapuhnya aku jika harus
kembali berjalan sendirian menghadapi kehidupan yang penuh kejutan ini. Aku
pernah merasa dan berpikir, bahwa dia adalah satu-satunya yang mampu menjadi
pegangan untuk membimbing langkahku. Namun nyatanya tidak!
Keadaan kini memaksaku untuk tetap melangkah, berjalan
bahkan berlari kencang meski tanpa dia di sisi. Aku hanya perlu untuk terbiasa
menjalani hari-hari tanpanya. Segala hal yang ku takutkan hanya perlu untuk
dihadapi. Bahkan berulang kali aku mencoba untuk melupakannya pun aku selalu
gagal! Hingga akhirnya aku disadarkan dengan sebuah ucapan, bahwa perihal
melupakan adalah suatu hal yang tidak mungkin bisa ku lakukan. Karena sejatinya,
aku hanya perlu untuk terbiasa. Terbiasa tanpanya. terbiasa untuk tidak
mencarinya. Terbiasa agar tidak mencemaskan keadaannya. Terbiasa untuk tidak
mengingat segala cerita bersamanya. Bahkan mungkin, terbiasa untuk tidak
menyebut namanya dalam barisan doa yang ku bisikkan pada Tuhan.
Aku hanya perlu terbiasa … hidup tanpanya!
Jujur, aku sudah lelah. Dengan keadaan yang seolah menyudutkan ku. Seolah aku penjahat utama atas duka yang tercipta di antara kita. Padahal, aku pun korban dari keadaan yang sering kali tak berpihak pada kita.
Di sela waktu kesendirian, aku bertanya pada keadaan, di manakah cinta yang dulu selalu kau puja? Kapan ku dapati lagi peluk hangat yang menenangkan? Dan Mengapa harus ego diri menjadi pemenang yang menghancurkan ketenangan?
Semua tanya itu hanya menggema dalam pikiran. Mendorong langkah untuk terus berjalan ketepian.
Ya. Ku rasa sudah saatnya aku menepi dari hadapan atau bahkan dari kehidupanmu. Namun, tiap kali langkahku semakin tegap untuk terus menjauh darimu, hati serta pikiranku semakin berperang.
Jika aku pergi, apakah kau akan sebahagia yang aku pikirkan? Apakah penyesalan tak akan datang menghampirimu ataupun aku? Dan jika aku pergi, akankah kamu merasa sepi seperti yang kurasakan saat ini?
Logikaku menjawab tetaplah pergi, karena apapun yang terjadi padamu bukan lagi menjadi urusanku. Tapi hati ku terus berbisik, bertahanlah sebentar, barangkali sebenarnya dirimu masih butuh aku. Meski sangat kecil kemungkinannya.
Namun yang pasti, kemanapun takdir membawa langkah kita, aku hanya bisa berharap, jika tiba waktunya untukku pergi, aku mampu terbiasa tanpamu, dan kamu, mampu mencipta kebahagiaan yang sempurna tanpa ada lagi bayang-bayangku di hidupmu.