Aku hampir saja tidak
mengenali Kakak ku sendiri, Sita, yang sedang bersantai di taman belakang
sambil membaca majalah berteman segelas kopi susu kesukaannya. Biasanya aku
bisa mengenalinya lewat mahkota terindah miliknya. Yang selalu terlihat
berkilau diterpa cahaya matahari ketika aku melihatnya dari jauh.
“Ma, itu siapa?” tanya ku
kepada Mama, berbisik.
“Itu Kakak mu, Ra. Masa kamu
tidak mengenali Kakak mu?” kata Mama yang disusul dengan tawa. Bagaimana aku
bisa mengenali Sita? Kalau penampilannya sekarang sangat berbeda dari
sebelumnya. Baru sebulan Sita pergi ke Malaysia untuk berlibur disana, tapi
penampilannya sudah berubah 360 derajat. Sita yang ku kenal adalah sosok wanita
cantik, memiliki rambut yang tak kalah bagus dengan artis bintang iklan shampo,
selalu berpenampilan modis, trendy, tidak pernah ketinggalan fashion terkini.
Tapi sekarang? Apa yang kulihat memang tidak bisa dipercaya. Dia memang tetap
menjadi Sita yang cantik, tapi rambutnya yang begitu bagus harus ia tutupi
dengan jilbab, bajunya yang dulu modis dan selalu menampilkan lekuk tubuhnya
yang indah pun kini tertutup dengan busana muslimah yang jauh dari kata
memperlihatkan lekuk tubuh. Oh God, kesambet setan apa kakak ku ini?
“Hai, Kak. Welcome back to
our home. Sampai rumah jam berapa tadi, Kak?” tanya ku yang langsung duduk di
depannya, dan berusaha untuk mempercayai penglihatanku.
“Tadi menjelang dzuhur,
pulangnya sore banget, De? Selesai kuliah jam berapa tadi?” tanya Sita. Hhhfff
…. Ternyata sikapnya yang selalu ingin tahu urusanku, dan selalu
mengkhawatirkanku masih saja sama.
“Tadi selesai kuliah jam
empat, sebelum pulang diskusi dulu sama temen buat tugas besok.” Jawabku.
Rasanya aku tidak sabar ingin menanyakan ada angin apa yang membuat ia bisa
berubah seperti sekarang ini.
“Kenapa melihat aku seperti
itu, De?” kata Sita yang menangkap gerakan mataku yang tidak berhenti
memperhatikannya dari bawah ke atas, dari atas ke bawah.
“Ah,ngg …. Enggak apa-apa,
Kak. Yaudah, Aira ke kamar dulu ya, Kak.” Kata ku yang langsung bangun dari
tempat dudukku.
“Jangan lupa mandi De, dan
siap-siap sebentar lagi maghrib.” Katanya lagi. Aku semakin bingung dengan
perubahan yang tiba-tiba seperti ini. Aku fikir perubahan Mama yang sama
seperti ini setahun yang lalu tidak akan mempengaruhi kak Sita. Ternyata
fikiranku salah. Rasanya semakin gerah
saja aku!
Maghrib pun tiba. Aku baru
saja selesai merapihkan kasurku setelah mandi. Rasanya bersantai sejenak sebelum
berkutik dengan tugas sangat menyenangkan. Aku pun merebahkan badanku di atas
kasur yang sudah rapih seperti semula. Baru saja aku ingin memajamkan mata,
terdengar ketukan pintu dari arah luar kamarku.
“De, buka pintunya sayang.”
Terdengar suara Kak Sita. Aku mulai menduga apa yang akan Kak Sita katakan
setelah membuka pintu nanti. “Sholat yuk de!” ajak Kak Sita setelah kubuka
pintu kamarku, dugaanku benar! Pasti itu yang akan ia katakan. Aku rasa Kak
Sita bisa menangkap apa yang ada dalam fikiranku, buktinya dia mengatakan
“Sholat tuh penting De, ayo
sholat! Kita sholat berjamaah, Kakak tunggu.” Kata kak Sita yang langsung
berjalan ke mushola kecil samping kamarku. Tempat yang selalu dipakai oleh Papa,
Mama, dan kedua orang Kakakku, dan terkadang oleh ku. “Kak, apa sih yang membuat Kakak seperti ini?”
tanya ku selesai sholat. Pertanyaan itu sudah tidak bisa aku tahan lagi dan tak
bisa aku biarkan terus bersembunyi di dasar lubuk hatiku. “Hidayah dari Allah
yang membuat Kakak seperti ini.” Jawab kak Sita singkat dan disusul dengan
senyuman.
“Aku serius Ka ….” Kataku
gemas karena tidak mendapatkan jawaban yang aku harapkan.
“Kakak juga serius De.
Memangnya kenapa sih?” tanya Kak Sita ingin tahu. Sedikit meragu, tapi harus
aku katakan. “Rambut kakak tuh terlalu bagus untuk di tutupi dengan jilbab
seperti Mama gitu! Kakak tuh terlalu cantik untuk memakai pakaian seperti ini.
Kakak lebih cantik seperti dulu. Kakak yang modis, yang punya rambut indah, yang
enggak seperti ini.”
“Dan kamu akan terlihat lebih
cantik kalau kamu memakai jilbab juga. Seperti Mama dan Kakakmu itu.” Kata Papa
yang tiba-tiba sudah ada di depan pintu mushola. Aku hanya mendengus kesal dan
kemudian meninggalkan mereka. Aku langsung masuk ke kamarku dan menguncinya. Dan
aku langsung ke balkon kamarku menatap langit yang mulai gelap, dan menatap
bintang yang mulai berdatangan. Di saat sedang menikmati keindahan langit malam
ini, aku kembali teringat kata papa barusan. Huh! Justru rambut dan body aku
ini terlalu sayang jika harus di tutup seperti Kak Sita. Pasti bakal kabur tuh
para penggemar Kak Sita. Mana mau ada yang ngejar-ngejar dia lagi! Gerutu ku pelan.
Dua minggu berlalu setelah
aku menanyakan perubahan yang terjadi dengan Kak Sita. Aku sudah mulai bisa menerima
Kak Sita dengan perubahannya. Hari ini aku harus bersegera pergi ke kampus.
Walau jam kuliahku sebenarnya siang, sekitar jam satu, tapi aku harus pergi ke kampus
untuk membicarakan tugas yang akan di presentasikan siang nanti. Beruntung tadi
malam aku sudah meminta Kak Fadhli mengantarku ke kampus, jadi pagi ini aku
bisa makan dan bersiap-siap dengan tenang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul
delapan pagi, Kak Fadhli pun mulai
menyalakan motornya. Setelah semua aku pastikan sudah beres, akupun pamit
kepada Mama dan Kak Sita. Sedangkan Papa sudah pergi lebih dulu ke kantornya.
“Besok-besok ke kampus pakai
baju yang sedikit longgar dan tertutup ya, De.” Kata kak Sita mengingatkan.
“Sudah berkali-kali Mama
ingatkan, Sit. Dia tetep aja masih begitu. Belum kena batunya jadi belum sadar
dia.” Kata mama menimpali.
“Apaan sih, Mama? Ini juga
kan udah tertutup, Ma.” Kata ku sedikit kesal.
“Kalau tertutup tapi celana
jinsmu ketat gitu sama saja bohong, Ra. Bajumu juga ketat gitu. Menunjukkan
banget lekuk badanmu. Kamu jadi terlihat gak cantik. Kan ada haditsnya, Dek.”
Kata Kak Sita menjawab omongan Mama. Aku semakin bete mendengarnya. Kak Sita
bukan saja berubah dari penampilannya! Tapi omongannyapun mulai seperti Bu
ustadzah yang sedang berkhotbah. Apa tadi? Dia bilang hadits? Alah, mengerti
apa dia tentang agama? Pakai jilbab dan baju longgar saja baru-baru sekarang
ini.
“Udah deh, Ka! Enggak usah
kaya bu ustadzah gitu! Kakak juga dulu tuh begini! Sadar dong!!” kataku
akhirnya, kesal. “Aira!!” Mama mulai membentakku. Aku pun kembali diam sambil
menahan kesal. “Justru karena Kakak tau kemarin Kakak salah, dan karena Kakak
mulai tau bagaimana islam mengajarkan dan memberikan peraturan kepada kaum
wanita yang peraturan itu pun justru menyelamatkan kita dari segala sesuatu
keburukan dan kejahatan yang mengintai kita! Kakak enggak mau kamu nyesal
nantinya, De!” kata ka Sita tegas. “Dan harus kamu tau De, rambut kamu, lekuk
tubuh kamu, keindahan wajah kamu, semua itu adalah mahkota berharga milik kamu
yang terlalu berharga untuk kamu umbar dan pamerkan kepada orang yang
seharusnya tidak berhak menikmati semua keindahan milik kamu itu!” lanjut Kak
Sita. Aku langsung mengajak Kak Fadli untuk segera pergi. Akh! Pagi ini sungguh
menyebalkan!
“Pulang mau di jemput enggak?
Kalau mau, nanti Kakak bilangin ke Pa Ahmad untuk jemput kamu.” Kata Ka Fadhli
setelah kami sampai di kampusku. Aku menjawab dengan anggukan kepala.
“Yaudah, Kakak langsung
pulang, ya? Udah jangan kesel terus, entar cepet tua. Jelek! Tapi saran Kakak,
ada baiknya kamu fikirin kata-kata Sita tadi pagi.” Kata Ka Fadhli lagi. Aku
menjawab ucapannya hanya dengan senyuman singkat dan aku pun langsung
meninggalkannya di tempat parkir.
Sore akhirnya menjelang.
Presentasiku sukses. Tugas untuk hari ini selesai. Bersyukur aku karena Pa
Ahmad, supir keluarga kami, sudah menunggu ku di parkiran dengan jazz hitam
kesayanganku. “Pa, kita ke toko buku dulu ya sebentar.” Kata ku setelah mobilku
ini mulai membawa ku pergi meninggalkan kampus. Tidak perlu memakan waktu yang
lama untuk sampai ke toko buku yang aku inginkan.
“Saya tunggu di parkiran ya,
Non. Kalau sudah telfon saya saja.” Kata pa Ahmad ketika menurunkan ku di lobi.
Memang keberuntungan sedang
tidak berpihak kepadaku hari ini. Ada beberapa orang laki-laki yang berjalan di
belakangku, dan mengikuti setiap kemanapun aku pergi. Dan sesekali terdengar
ucapan-ucapan jahil dari mulut-mulut mereka! Bahkan sesekali mereka menggoda
dengan terang-terangan. “Hai cewe, sendirian aja? Boleh dong gue nemenin?” Kata
salah satu laki-laki itu disamping ku ketika aku berhenti didepan rak buku yang
aku cari. Aku hanya menjawab dengan lirikan tajam.
“Jutek banget, Non. Nanti
cantiknya ilang lho!” Kata temannya yang berada di samping laki-laki tadi sambil
mencoba menjawil ku. Aku keburu menepis tangan itu sebelum tangan itu mendarat
di daguku. Aku jadi teringat dengan ucapan Kak Sita. Dan aku mulai akui,
berpakaian seperti ini memang hanya akan mencelakakan ku cepat atau lambat. Aku
segera berlari meninggalkan tempat itu dan beberapa orang laki-laki yang tadi
mendekatiku. Segera aku menelfon Pa
Ahmad dan memintanya untuk segera ke lobi dan kita pulang!
“Kak, Maafin Aira ya ….” Kata
ku kepada Kak Sita ketika aku sampai di rumah.
“Apa yang Kakak bilang tadi
pagi benar juga, Ka.” Lanjutku dengan penuh penyesalan.
“Kakak sudah yakin, cepat
atau lambat kamu akan menyadarinya sendiri. Kakak sangat menyayangi mu, De.
Kakak cuma enggak mau mahkota berharga nan terindah yang kamu miliki dirusak
oleh orang lain hanya karena kamu terlalu memamerkannya kepada mereka.” Kata Kak
Sita sambil membelai kepalaku berkali-kali. Hatiku semakin tersentuh dengan
ucapannya, dan aku hanya bisa diam.
“Salah satu mahkota terindah
kamu adalah ini, De,” lanjutnya sambil mengusap lembut rambutku. “Terlalu
berharga dan terlalu indah mahkota ini untuk kamu umbar dan kamu perlihatkan
secara gratis kepada orang-orang. Seharusnya kamu tutup dan kamu jaga ini,
sayang. Karena Allah telah memerintahkan kepada kita untuk menutup kepala kita
ini dengan jilbab hingga segini.” Kata kak Sita sambil menunjukkan tangannya kebawah
dada.
“Aira akan mencoba untuk
berubah seperti Kakak, bantu Aira ya, Ka.” Kata ku akhirnya.
“Pasti sayang. Kamu enggak
usah khawatir ya. Kakak akan selalu bantu kamu.” Ya, semua ini memang harus aku
lakukan, menjaga mahkota terindah yang aku miliki demi masa depan ku kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar