Minggu, 22 September 2024

Labirin Rasa

9/22/2024 03:21:00 PM 0 Comments

 


Aku kembali terjebak pada labirin rasa. Tersesat di dalamnya. Nyaris putus asa karena tak juga menemukan jalan keluar. Hingga kemudian seseorang hadir di dalam labirin rasa yang sedang ku jejaki.  Melangkah bersisian denganku. Ia pun sama terjebaknya. 

Kita berjalan dan tersesat bersama di dalamnya. 

Herannya, kita tak mencari jalan untuk keluar dari labirin ini. 

Mungkin karena aku yang begitu menikmti kehadirannya. Larut dalam setiap cerita yang mengalir dari lisannya. Hingga yang hadiir dalam logikaku adalah bagaimana kebersamaan ini tak berkahir? Bagaiman caranya agar aku ataupun dia tak bertemu pintu keluar dari labirin ini. 

Entah, mengapa bisa aku sebahagia ini saat bersamanya. Bersama terjebak dalam labirin rasa. Dan entah mengapa, ia pun seolah menikmati kebersamaan ini.

Setiap detik yang ku lalui bersamanya, mengasah rasa candu akan hadirnya menjadi rasa sayang yang mungkin sesaat lagi akan dipertajam dengan rasa cinta. 

Konyol! Bodoh!! Jahat!! 

Teriak logikaku mencoba mengehentikan langkah dan mengakhiri kebersamaan dengannya. 

Namun hati kecilku tak mampu menjauh darinya meski selangkah. 

Untuk saat ini, biarkan aku menikmati ketersesatan dalam labirin rasa ini. 

Karena ku yakin, suatu hari nanti, labirin rasa ini akan hancur dengan sendirinya. Entah karena apa dan siapa penyebabnya. 

Hei kamu, maaf ya.. Jika aku harus menahanmu dalam labiri rasa ini.  Sungguh aku bahagia, di atas kebodohan dan ketersesatan ku dalam labiriin rasa ini. Aku bahagia menghabiskan banyak waktu bersamamu. Jika kelak kita berhasil keluar dari labirin ini, entah mengapa, aku hanya ingin kamu menjadi orang terakhir yang menemaniku melangkah menghabiskan sisa waktu yang ada. 

Senin, 16 September 2024

Rasa Bersalah

9/16/2024 08:14:00 PM 0 Comments

Sebelum sampai di angka dua tahun untuk saling mengenal, aku dan dia sepakat akan melanjutkan kisah kita hingga ke mahligai pernikahan.
Satu minggu menjelang hari pernikahan mestinya menjadi hari yang membahagiakan. Menjadi hari-hari yang mendebarkan menanti momen paling sakral yang akan terjadi dalam hidupku. Satu minggu menjelang hari pernikahan, mestinya sudah ku selesaikankan segala urusan, sehingga tak ada lagi alasan aku dan dia untuk pergi menyelesaikan urusan yang belum tuntas. Ya. Semestinya... dan seandainya...
Namun siapa kira? Seminggu menjelang hari pernikahan kami, menjadi hari yang paling menyakitkan bagiku! Menjadi hari dimana aku terlempar dan terkurung dalam ruang rasa bersalah yang menyakitkan dan tak berkesudahan!
Ratusan, atau bahkan ribuan hari aku terkurung dalam rasa bersalah, tersebab kejadian di hari itu. Hari dimana aku bersamanya terlempar dari motor kesayangan kami tersebab sebuah mobil yang menghantam kami dari arah berlawanan. Ia seketika tak sadarkan diri. Meregang nyawa di tempat kejadian. Aku yang masih setengah sadar harus menyaksikan calon pedamping hidupku menghembuskan napas terakhirnya. Padahal, sesaat sebelum kejadian itu, kami masih menikmati perjalanan dengan sangat bahagia. Aku masih bisa mendengar tawanya. Melihat wajah bahagianya. Rasanya, kami sudah tak sabar menunggu waktu seminggu lagi untuk segera mengikat hubungan kami dengan sebuah akad.
Setelah kejadian itu, aku tak sadarkan diri berhari-hari lamanya, membuatku tak bisa mengantarkan ia kerumah barunya, dan hal itu, mencipta ruang rasa bersalahku semakin besar!
Entah, apa yang sedang Tuhan persiapkan untuk masa depanku, hingga sesakit ini ujian yang harus ku hadapi. 
Kehilangan cinta pertama, membuatku merasa akulah penyebab utama atas kepergiannya, hancur segala harapan dan impian untuk dapat hidup bersamanya. 
Akad itu tak pernah terucap. Aku kalah cepat dengan kematian yang menjemputnya lebih dulu. Dan kepergiannya membuatku selalu dipeluk rasa bersalah.
Aku hanya berharap, kelak Tuhan hadirkan aku kebahagiaan yang begitu paripurna. Meski bukan bersamanya. Namun satu hal yang pasti, seiring rasa bersalah ini pergi, ia akan tetap abadi dalam memori juga sanubari. Raganya boleh terkubur bersama rasa bersalahku, namun jiwanya akan selalu hidup dan abadi dalam kisah perjalan hidupku.

Selasa, 10 September 2024

Perpisahan

9/10/2024 12:09:00 PM 1 Comments


Berpisah darimu adalah awal dimana kehancuranku tercipta. Derai air mataku berlomba mengurai sesak dalam dada. Sepi dan sendiri adalah kawan yang senantiasa menyelimutiku, yang mencoba membuatku tenang meski ternyata selalu saja kegaduhan dalam isi kepala yang menjadi pemenangnya. Sesakit ini aku, Tuan! Berpisah darimu bukanlah suatu hal yang kutunggu. Jangankan menunggu, ku harapkan pun tidak! Sakit rasanya. Harus ada salam perpisahan diantara kita. Segala harapan, cita-cita dan cinta harus ku kubur pada tanah realita yang ku pijak.

Hai, Tuan... Kenapa harus perpisahan yang menjadi pilihan setelah kita pernah mencipta bahagia bersama? Kenapa harus kamu mencipta bahagia di orang lain, setelah kau pernah dengan sungguh menyatakan bahwa aku adalah kebahagian untukmu. Kenapa harus kau begitu meyakinkan hati ini, jika pada akhirnya kau pergi juga.

Hari-hari yang ku lalui tanpamu terasa begitu meyakitkan, Tuan! Setiap hari yang kulalui hanya menunggu kau kembali. Dan di saat ku sadar bahwa kau tak akan pernah datang lagi, maka aku mulai mencarimu di orang baru yang datang dalam hidupku. Terkesan jahat dan egois memang, tapi sesulit itu aku melupakanmu. Seberat itu hatiku untuk benar-benar melepasmu. 

Aku tau, mencarimu pada orang lain hanya akan membuatku lelah dan membuang-buang waktu. Tapi, biarlah aku membunuh rasa yang kau tinggalkan dengan seperti ini caranya. Biarkan aku lelah hingga berjumpa titik putus asa hanya karena terus mencarimu pada setiap orang baru yang singgah dalam hidupku.

Kesakitanku, kehilanganmu, pada akhirnya menyadarkan tentang kata perpisahann bagiku.

Ya, perpisahan bagiku adalah satu kata yang membuatku mengerti makna dari sebuah menghargai perjumpaan dan kebersamaan. Tentang satu kata yang memahmkan diri dan hati bahwa ternyata, tak pernah ada yang abadi dalam hidup ini. 

Rabu, 04 September 2024

Pergilah! Aku Tak Apa Sendiri

9/04/2024 07:42:00 PM 0 Comments

Ternyata, apa yang banyak orang katakan itu benar, ya?
Orang yang paling tega menyakiti adalah orang yang paling dekat. Orang yang kesehariannya selalu ada bersama kita. Dia yang selalu terlihat paling sayang, perhatian, dan mungkin terlihat paling mencintai kita. Dia yang sama sekali tidak ingin melihat kita dilukai oleh siapapun. Selalu siap menjadi garda terdepan di saat kita terancam tidak baik-baik saja, atau ada perlakuan yang membuat kita merasa tidak aman dan tidak nyaman.
Ku pikir, hal itu tidak akan pernah menimpaku. Ku kira, cerita tentang orang yang disakiti oleh orang paling dekat adalah milik mereka saja, mereka yang ku pikir hidupnya sedang tidak beruntung.
Ternyata, kini aku menjadi bagian dari orang yang tak beruntung itu. Segala hal yang selama ini hanya ku dengar, kini benar-benar ku rasakan sendiri!
Orang yang ku anggap paling setia dan rela berkorban untuk kebahagiaanku, justru orang yang paling dalam menggoreskan luka di dada. Seseorang yang selalu ada di segala kondisiku, menyayangiku dengan begitu hebat layaknya saudara serahim, justru ternyata dia menjadi orang yang paling tega menancapkan belati di hatiku. Dia orang yang tanpa belas kasihan menghancurkan kebahagiaanku.
Jika sahabat terbaikku bisa bermain gila dengan lelaki yang sudah menjadi calon suamiku, merebut perhatian dan rasa cintanya, lalu kini mereka bahagia menjalani kisah cinta setelah memporakporandakan kepercayaan dan perasaanku, lantas setelah ini siapa lagi yang harus ku percaya? Kepada siapa lagi bisa ku sebut sahabat terbaik? Atau calon imam terbaik seumur hidup? Setelah ini, jika aku mati rasa pada siapapun tak menjadi masalah, bukan?
Sungguh! Hancur sekali rasanya! Ditikam belati oleh sahabat sendiri. Dikhianti oleh kekasih hati. 
Pergilah! Aku tak apa apa sendiri di sini. Namun jangan lupa, bawa serta dia, yang dulu pernah menjadi sahabat terbaikku. Pergilah! Aku tak apa sendiri di sini. Berjuang menata kembali hati yang telah kalian hancurkan tanpa belaskasihan. Pergilah!