Senin, 27 Juni 2011

Cinta yang Salah


Saat pertama kali aku mengenal dia, tidak pernah ada yang istimewa yang aku rasakan. Hampir semua teman-temanku yang cewek bertanya kepadaku,  apa rahasianya sehingga aku bisa begitu akrab dengan idola di sekolah ini, padahal aku adalah siswi baru. Bahkan belum ada tiga bulan. Aneh, tapi beginilah nyatanya. Angga, seorang kapten basket, yang terkenal dingin terhadap makhluk Tuhan yang bernama perempuan, tapi bisa begitu cair ketika berhadapan denganku.
“Siapa sih yang nggak mau sama cowok tinggi, keren, cakep, putih, kapten basket pula! Udah gitu pinter lagi!” jawab Lina, teman sebangkuku saat aku tanya mengapa hampir semua teman heran melihat kedekatanku dengan Angga. Lalu aku hanya ber-O panjang mendengar jawaban Lina.

Pandangan orang terhadap suatu hal memang berbeda. Termasuk aku, saat temanku berpikir seperti itu, aku justru berpikir biasa saja dan sangat sederhana tentang Angga. Karena aku belum mengenal ia dan tidak melihat sesuatu yang spesial dari diri Angga. Aku jadi ingin tahu lebih dalam tentang dirinya. Beruntung, dia pun sepertinya tidak memberikan tanda-tanda ingin menjauh dariku. 
Sudah tiga bulan lebih dua minggu keberadaanku  di SMA 58 ini, dan kami semakin dekat dan akrab. Gosip-gosip yang berlebihan, yang mengatakan kami sudah resmi menjadi sepasang kekasih, menyebar di sekolahku. Tapi aku tidak pernah  memperdulikan. Karena bagiku, cukup aku dan Angga yang tahu apa yang terjadi di antara kami sebenarnya. Lagipula rasanya tidak mungkin Angga akan jatuh hati kepadaku. Seorang Aira yang hanya memiliki tingga 158, berambut lurus dengan panjang sebahu, berkulit sawo matang, dan wajah yang, kata orang, manis jika dilihat seberapa lamapun. Perpaduan yang aneh bukan kalau aku bisa sampai jadian dengannya?
Empat bulan berjalan, dan aku masih mampu menyandang prestasi sebagai sahabat terdekat Angga. Dan aku pun mulai bisa menyesuaikan diriku dengan lingkungan sekitar sekolah yang selalu bersikap ke Angga bagaikan seorang artis termahsyur. Gerah juga sebenarnya melihat cewek-cewek di sekolah yang selalu mengelu-elukan sosok Angga. Dan terkadang bersikap aneh dan sengaja cari perhatian. Bahkan, tak jarang ada yang bertanya dengan ketus tentang kedekatan aku dengan Angga.
“Siapanya Angga sih, lo sebenernya?” tanya salah satu temanku di kelas.
“Cuma temen, kenapa?" Jawabku   jujur. Tapi ia malah marah kepadaku, dan memaksaku untuk mengatakan dan mengaku bahwa aku ini adalah pacarnya Angga. Hello! Kejujuran apa yang harus aku katakan jika memang yang sebenarnya adalah seperti itu. Dan Angga hanya tertawa ketika aku menceritakan kejadian tadi. Huh, selalu begitu.
“Kenapa harus gue sih, yang kena amukan para fans lo itu?” protesku kepada Angga di suatu sore hari, menjelang ia latihan basket sebelum pulang sekolah.
“Sebenarnya bukan karena gue,” jawab Angga santai sambil memasukkan baju seragam sekolah yang sudah diganti dengan seragam basketnya itu ke dalam tas andalannya.
“Terus kalau bukan kesalahan lu, lalu salah siapa? Gue?” kataku.
“Iyalah!” jawab Angga dengan begitu yakinnya. Aku hanya mengerutkan alis sebagai tanda ketidakmengertianku.
“Sadar atau enggak, rela atau enggak, kalau dilihat-lihat, lu tuh jauh lebih cantik dari mereka, karena itu mereka jadi sensi melihat lo deket sama gue, dan lu akhirnya menjadi pelampiasan amarah mereka.” Lanjut Angga yang disusul dengan tawanya yang begitu khas.
Ketika aku ingin membalas ucapannya itu, dia sudah berlari ke tengah lapangan sedang aku menunggunya hingga latihan selesai, sesuai dengan permintaannya. Dan aku akan meminta bayaran dengan diantarkan pulang.
Aku kira Angga cukup jika hanya menjadi seorang sahabat untukku. Tidak perlu sesuatu yang lebih dari seorang sahabat. Karena bagiku, melewati batas tali persahabatan kami hanyalah akan membuat semua yang terjalin ini akan menjadi hancur. Jalinan pertemanan serta persahabatan yang selalu aku banggakan. Tapi, aku melihat ada sesuatu yang berbeda sejak Angga mengatakan hal yang konyol, bagiku, di sore itu. Ada sesuatu yang tidak seperti biasanya yang aku rasakan dari dia. Sama halnya dengan sesuatu yang tidak sama seperti biasanya dengan apa yang terjadi dengan degup jantungku saat aku berada di sampingnya, saat aku berada di depan kelas memperhatikannya bermain basket sambil menunggunya, hingga saat aku diantar pulang olehnya. Aku merasakan degup jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Tapi aku membiarkan itu terus terjadi, hingga aku mengerti dengan apa yang aku rasakan. Aku mulai mencintainya, walaupun aku tahu seharusnya ini tidak boleh terjadi.
Logika boleh menentang, hati ingin menolak, tapi kata hati melarang untuk melakukan itu. Sebulan sejak obrolan singkat kami di pinggir lapangan itu, Angga memintaku untuk menjadi pacarnya. Ingin lidah berucap tidak bisa, tapi kata hati mendorong untuk mengatakan, iya. Terhitung tanggal 23 Oktober 2010 aku resmi menjadi pacar Angga. Tapi aku sepakat dengannya, hal ini menjadi rahasia kami berdua. Tidak boleh ada yang tahu dan diberi tahu tentang apa yang terjadi antara kami. Aku sama seperti remaja lainnya, merasa senang saat seorang cowok yang diidam-idamkan banyak orang menjadi pasangannya. Aku menjadikan Angga sebagai pacarku bukan karena ia adalah anak yang tenar di sekolah kami, tapi aku menjadikannya pacar karena hatiku mulai mencintainya.
Sebulan pertama yang berjalan sangat menyenangkan. Hampir tidak ada ksesedihan sedikit pun yang tercipta di antara kami. Hanya canda, tawa, saling pengertian, dan saling perhatian yang aku rasakan setiap harinya. Tidak ada air mata kesedihan setetes pun yang mengalir dari mata ini. Aku semakin mencintainya. 
Memasuki bulan ketiga, aku mulai merasakan kerikil-kerikil kecil dalam perjalanan hubungan kami. Tapi aku yakin kerikil-kerikil ini bisa aku hadapi jika aku terus berjalan bergandengan tangan bersama Angga. Walau perjalanan aku dengannya di bulan ketiga menuju keempat itu penuh dengan kerikil kecil, tapi tidak menjadikan ku mengurangi rasa cinta untuknya. 
Tuhan memang sangat menyayangi kita, Dia akan terus menguji kesabaran dan kekuatan kita ketika kita sudah mampu melewati satu tingkatan. Memasuki bulan keempat, kerikil-kerikil itu berubah menjadi batu-batu besar. Memasuki bulan kelima perjalanan kami, bisa di hitung berapa kali kami menghabiskan waktu bersama dan berapa kali kami tertawa bersama seperti awal-awal hubungan kami. 
Aku mencoba membicarakan masalah hubungan kami. Karena aku begitu takut, apa yang aku takuti dulu menjadi sebuah kenyataan yang teramat menyakitkan untukku. Aku meminta kepada Angga untuk meluangkan waktu sebentar saja untuk membicarakan hal ini, dan dia memintaku untuk datang ke rumahnya.
Melawan rasa malu, dan mencoba menghilangkan kata gengsi, aku pergi ke rumahnya pagi minggu ini. Perasaanku mulai tidak enak saat aku datang dia mengatakan hanya ada dia dan Abel, adiknya, di rumah itu.
“Mba Inem ke mana?” tanyaku ingin tahu.
“Pulang kampung tiga hari, adiknya masuk rumah sakit.” Sekedar basa basi. Setelah itu aku menanyakan apa yang membuat ia sedikit menjaga jarak denganku akhir-akhir ini. 
“Enggak ada masalah apa-apa. Mungkin aku terlalu nervous untuk menghadapi turnamen basket beberapa hari lagi.” Jawabnya. Tentu aku tahu dia berbohong.

Tidak lama Abel lewat di depan kami, yang sedang duduk di bangku teras. “Abel pamit ya, Kak. Entar sore Abel pulang.” Kata Abel yang langsung mencium tangan Angga. Berarti, tinggal aku dan Angga di rumah ini. Teras rumah Angga cukup jauh dengan pintu pagar dan sedikit tertutup jika dilihat dari pinggir jalan, kesadaran akan hal ini membuat aku merasa semakin takut! 
Aku teringat dengan ucapan mama, Kamu boleh dekat dengan teman laki-laki, tapi ingat, menjaga jarak itu penting! Demi keselamatan diri kamu juga. Jangan sampai kamu bersama dengan dia hanya berduaan.
Aku berusaha menepis rasa takut itu dengan mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang tadi, dan dia masih menjawab dengan jawaban yang sama, 
“Bohong. Aku tau bukan itu masalahnya,” kataku setelah ia berhenti menjawab.

“Oke, aku jujur. Aku lagi jenuh dan bosan dengan hubungan kita ini, Ra.” Katanya. What?? Bosan? Antara percaya dan tidak saat aku mendengar jawabannya.

“Terus? Sekarang kamu maunya kita gimana?” kataku yang masih belum bisa mengerti maksud ucapannya tadi.

“Aku enggak mau hubungan kita dikorbanin, tapi aku mau minta sesuatu dari kamu.” Jawabnya.

“Apa?” kataku cepat. Karena aku ingin tahu apa yang ia inginkan, dan jika aku mampu, aku akan melakukan itu, demi dia, demi aku, dan demi hubungan kita.

“Aku cuma mau ….” Kata Angga sambil mendekatkan kepalanya ke hadapanku.

Aku mulai mengerti dan mengetahui saat kepalanya semakin mendekat, dan bibirnya sudah siap menciumku. 
PLAK!! Spontan aku berdiri dan menampar wajahnya.
 “Maaf, tapi aku lebih memilih kehilangan kamu dan hubungan ini daripada aku harus kehilangan harga diri aku!” kataku gemetar menahan amarah, kecewa, sesak, dan sakit. Bukan sakit di tanganku yang telah menampar wajahnya, tapi sakit yang begitu perih di hatiku yang paling dalam.

Aku langsung meninggalkannya pergi walau ia sempat menahanku dan ingin meminta maaf. Aku terlanjur sakit dan kecewa dengan sikapnya tadi. Begitu rendahnya ia memandang cinta. Begitu mudahnya ia menodai cinta. Dan begitu dalamnya ia melukai cinta. Ya, melukai cinta yang telah aku bangun dan kujaga selama ini hanya untuk ia. Baginya mungkin ini sepele, tapi bagiku ini adalah soal harga diri dan kesucian cinta. Aku memang menyayanginya serta mencintainya, tapi bukan berarti aku rela memberikan segalanya untuk dia, walaupun itu hanya sebuah ciuman! 

Bagiku, cinta adalah suci, indah, saling menjaga, saling menyayangi, saling peduli, dan saling mengerti. Cinta bukanlah suatu hal yang menyakiti. Karena cinta tidak pernah menyakiti, jika dipandang dengan penuh ketulusan, dan kesucian. 
Aku tersadar, cinta yang selama ini aku pertahankan ternyata salah. Pandangan ia tentang cintaku untuknya, pun salah. Aku memilih menjarak dan pergi menjauh darinya. Dari cinta yang salah yang aku miliki selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar